SOAL
1. Akhir-akhir ini
banyak bermunculan penyakit baru yang mengancam dunia dan berpotensi menjadi
epidemi global.
a.
Jelaskan
bagaimana pendekatan modern bekerja agar obat untuk membasmi penyakit tersebut
segera ditemukan.
b. Bila obatnya
berhasil ditemukan, gunakan parameter farmakodinamik dalam mendesain turunan
sehingga dihasilkan obat dengan efikasi tinggi.
2. Berikan satu
contoh analgesik dan jelaskan secara farmakokinetik argumentasi efikasinya bila
diadministrasikan secara :
a.
Intravena
b.
Intramuskular
c.
Subkutan
3.
Jelaskan
beberapa keunikan secara farmakodinamik masing-masing antihistamin berikut ini
:
a.
Turunan
Etilendiamin
b.
Turunan Kolamin
c.
Turunan
Fenotiazin
JAWABAN
1.
A)
Sebagian besar obat baru atau produk obat ditemukan atau dikembangkan melalui
satu atau lebih dari enam pendekatan
berikut:
1)
Identifikasi atau
elusidasi target obat baru.
2)
Desain obat baru
yang rasional berdasarkan pemahaman akan mekanisme biologik, struktur reseptor,
dan struktur obat.
3)
Modifikasi molekul
terkait secara kimiawi.
4)
Skrining
terhadap aktivitas biologik produk-produk alamiah, kumpulan berbagai unsur
kimiawi yang telah ditemukan sebelumnya, dan kumpulan berbagai peptida, asam
nukleat, dan molekul organik lainnya.
5)
Bioteknologi dan
kloning menggunakan gen untuk menghasilkan berbagai peptida dan protein. Upaya
untuk menemukan target dan pendekatan dalam pengembangan dan penemuan obat baru
terus dilakukan melalui berbagai penelitian dalam bidang genomik, proteomik,
asam nukleat dan farmakologi molekuler untuk terapi medikamentosa. Peningkatan
jumlah target obat pada penyakit secara signifikan hendaknya memotivasi pembaruan
dan peningkatan obat.
6)
Kombinasi
berbagai obat yang telah dikenal untuk mendapatkan efek aditif atau sinergistik
atau reposisi obat tersebut untuk keperluan pengobatan yang baru.
Penyaringan Obat
Tanpa
memandang sumber atau gagasan utama yang mengarah pada suatu molekul kandidat
obat, uji obat melibatkan serangkaian eksperimen dan penelitian pada makhluk
hidup yang dilaksanakan secara konsisten. Proses ini dinamakan skrining obat.
Beragam uji (assay) biologik pada hewan percobaan baik pada tingkat molekular,
selular, organ, maupun holistik digunakan untuk menentukan aktivitas dan
selektivitas obat. Jenis dan jumlah uji skrining awal bergantung pada tujuan
farmakologi dan terapeutik. Berbagai obat anti-infeksi akan diuji terhadap
berbagai organisme penyebab infeksi, beberapa diantaranya menunjukkan resitensi
terhadap obat standar, dan berbagai obat hipoglikemik akan diuji kemampuannya
untuk menurunkan gula darah, dan sebagainya. Selain itu, kumpulan berbagai
kerja lainnya dari satu molekul juga akan diteliti untuk menentukan mekanisme
kerja dan selektivitas obat. Hal ini mempunyai keuntungan karena dapat
memperlihatkan berbagai efek toksik baik yang diduga maupun yang tidak diduga.
Terkadang, seorang pengamat yang cukup teliti dapat menemukan suatu efek
terapeutik yang tidak diduga sebelumnya. Pemilihan molekul-molekul yang akan
diteliti lebih lanjut paling efisien dilakukan melalui model penyakit manusia
pada hewan percobaan. Pada umumnya, manusia memiliki obat-obatan yang adekuat
untuk berbagai keadaan dengan model perkiraan pra klinis yang baik (contohnya
obat antibakterial, penyakit hipertensi atau trombotik). Untuk penyakit yang
memiliki model pra klinis yang buruk atau yang sama sekali belum memiliki model
pra klinis, seperti pada penyakit Alzheimer, obat-obatan yang adekuat umumnya
belum tersedia dan jarang terdapat terobosan baru dalam peningkatan terapi.
Selama
skrining obat berlangsung, berbagai penelitian dilakukan untuk mendapatkan
profil farmakologis obat tersebut pada tingkat molekular, selular, sistem,
organ, dan orgnisme. Sebagai contoh, serangkaian uji akan dilakukan terhadap
suatu obat yang dirancang sebagai antagonis adrenoseptor-α pembuluh darah untuk
pengobatan hipertensi.
Pada
tingkat molekuler, skrining akan dilakukan terhadap senyawa tersebut untuk
menentukan afinitas ikatan dengan reseptor pada membran sel yang mengandung
berbagai reseptor α (jika memungkinkan, pada reseptor yang terdapat pada
manusia), pada berbagai reseptor lainnya, dan pada tempat pengikatan enzim.
Jika struktur kristal obat beserta targetnya tersedia, analisis struktur
biologi atau skrining virtual dengan menggunakan komputer (computer-assisted
virtual screening) dapat dilakukan untuk lebih memahami interaksi obat dengan
reseptor. Berbagai penelitian awal dapat dilakukan untuk memperkirakan
efek-efek yang mungkin akan menyebabkan metabolisme obat yang tidak diinginkan
atau komplikasi toksikologik. Sebagai contoh, penelitian terhadap enzim
sitokrom P450 hati dilakukan untuk menentukan apakah obat tersebut berfungsi
sebagai substrat atau inhibitor enzim tersebut atau akan mempengaruhi
metabolisme obat lain. Pengaruhnya terhadap kanal ion jantung seperti kanal
kalium hERG, yang diperkirakan dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa,
dapat dipertimbangkan.
Pengaruhnya
terhadap fungsi sel akan diteliti untuk menentukan apakah obat tersebut
bersifat agonis, agonis parsial, atau antagonis reseptor α. Suatu jaringan
terpisah (isolated tissue), terutama jaringan otot polos pembuluh darah,
digunakan untuk melihat aktivitas farmakologis dan selektivitas senyawa baru
dibandingkan dengan senyawa referensi. Pembandingan dengan obat-obatan lain
juga dilakukan pada preparat in vitro lain seperti otot polos saluran cerna dan
bronkus. Pada tiap tahapan proses ini, senyawa harus memenuhi persyaratan
spesifik untuk dapat maju ke tahapan selanjutnya.
Penelitian
pada hewan secara holistik umumnya diperlukan untuk menentukan efek obat pada
sistem organ dan model penyakit. Penelitian pengaruh semua obat baru terhadap
kardiovaskular dan ginjal umumnya pertama kali dilakukan pada hewan normal.
Jika memenuhi standar kelayakan, penelitian juga dapat dilakukan pada model
penyakit. Suatu kandidat obat antihipertensi akan diujikan pada hewan percobaan
dengan hipertensi untuk melihat apakah terjadi penurunan tekanan darah sesuai
dosis (dose-related manner) dan untuk mengetahui efek lain senyawa tersebut.
Berbagai bukti mengenai lama kerja dan efektivitas senyawa tersebut baik pada
pemberian oral maupun parenteral kemudian akan dikumpulkan. Jika terbukti
berpotensi, zat ini akan diteliti lebih lanjut mengenai kemungkinan adanya efek
samping terhadap berbagai sistem organ utama, termasuk pernapasan,
gastrointestinal, endokrin, dan sistem saraf pusat (SSP).
Berbagai
penelitian ini dapat memberikan anjuran mengenai perlu tidaknya dilakukan
modifikasi kimiawi lebih lanjut untuk memperoleh sifat-sifat farmakokinetik dan
farmakodinamik yang lebih diinginkan. Sebagai contoh, penelitian pada pemberian
obat secara oral dapat memperlihatkan bahwa obat ini sukar diabsorpsi atau
cepat dimetabolisme dalam hati; modifikasi untuk meningkatkan bioavailabilitas
mungkin diindikasikan. Jika obat direncanakan untuk digunakan secara menahun,
perlu dilakukan kajian mengenai perkembangan toleransi. Untuk berbagai obat
yang berhubungan dengan atau memiliki mekanisme kerja yang serupa dengan
berbagai obat yang diketahui menyebabkan ketergantungan fisik, potensi
penyalahgunaannya juga perlu diteliti. Mekanisme farmakologik untuk tiap kerja
utama obat juga akan dicari.
Hasil
yang diinginkan dari prosedur skrining ini (yang mungkin perlu diulang beberapa
kali dengan analog atau kongener molekul aslinya) disebut sebagai senyawa utama
(lead compound), yaitu kandidat utama untuk obat baru yang diperkirakan akan
berhasil. Senyawa tersebut umumnya akan didaftarkan dan dipatenkan baik sebagai
senyawa baru (paten mengenai komposisi suatu materi) yang bermanfaat maupun
sebagai pengobatan yang baru dan berbeda dengan zat kimiawi yang telah dikenal
sebelumnya untuk suatu penyakit (paten mengenai penggunaan).
Uji Keamanan Dan
Toksisitas Praklinik
Semua
obat bersifat toksik pada dosis tertentu. Menetapkan batas toksisitas dan
indeks terapeutik antara manfaat dan risiko (risk and benefit) suatu obat
secara tepat mungkin merupakan bagian terpenting dari proses pengembangan suatu
obat baru. Sebagian besar kandidat obat gagal dipasarkan, tetapi seni
pengembangan dan penemuan obat terletak pada kajian dan manajemen resiko yang
efektif, bukan pada penghindaran risiko secara total.
Berbagai
obat kandidat yang telah melewati prosedur skrining dan penetapan profil awal
harus dievaluasi secara hati-hati akan adanya berbagai risiko potensial sebelum
dan selama dilakukannya uji klinis. Bergantung pada tujuan penggunaan obat, uji
toksisitas pra klinik mencakup sebagian besar atau seluruh prosedur yang
tercantum dalam tabel I. Walaupun tidak ada zat kimiawi yang dapat dikatakan
sepenuhnya ‘aman’ (bebas dari risiko), tujuan uji ini adalah untuk
memperkirakan risiko yang berhubungan dengan keterpajanan terhadap kandidat
obat dan untuk mempertimbangkan hal ini dalam hubungannya dengan penggunaan
terapeutik dan lama penggunaan suatu obat.
Berbagai
tujuan penelitian terhadap toksisitas pra klinik antara lain adalah untuk
mengidentifikasi potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai
uji untuk menetapkan mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas
yang spesifik dan paling relevan untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai
tambahan berbagai penelitian yang tercantum dalam tabel I, diperlukan pula
beberapa perkiraan kuantitatif seperti ‘no effect’ dose – dosis maksimum tidak
terlihatnya suatu efek toksik tertentu; dosis letal minimum – dosis terkecil
yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila perlu, dosis letal median (LD50)
– dosis yang mematikan sekitar 50% hewan. Saat ini nilai LD50,diperkirakan
dengan menggunakan hewan percobaan dalam jumlah yang sekecil mungkin. Berbagai
dosis ini digunakan dalam perhitungan dosis awal yang akan diujikan pada
manusia, biasanya diambil seperseratus atau sepersepuluh dari nilai no-effect
dose pada hewan.
Terdapat
berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui antara
lain sebagai berikut:
1)
Uji toksisitas
merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu sekitar 2 sampai 6
tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta memperkirakan indeks
terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang memberikan efek
terapeutik dan yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum dianggap layak uji
pada manusia.
2)
Diperlukan
sejumlah besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis yang sahih
(valid). Para ilmuwan menaruh perhatian besar akan hal ini, dan berbagai
kemajuan telah dicapai untuk menurunkan jumlah hewan yang digunakan dengan
tetap mempertahankan kesahihan data. Kultur sel dan jaringan dengan berbagai
metode in vitro makin banyak digunakan, namun nilai perkiraan yang dihasilkan
masih sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa golongan masyarakat berusaha
untuk menghentikan semua uji menggunakan hewan percobaan dengan alasan yang
tidak berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan lagi.
3)
Ekstrapolasi
indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat memberikan
perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya. Untuk
menemukan suatu proses yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety Testing
Consortium, yakni suatu badan yang merupakan gabungan lima perusahaan farmasi
terbesar di Amerika Serikat dengan Food and Drug Administration (FDA) sebagai
badan penasehat, untuk memperkirakan keamanan suatu pengobatan sebelum diujikan
pada manusia. Hal ini dicapai dengan cara menggabungkan berbagai metode
laboratorium yang dikembangkan secara internal dalam tiap perusahaan farmasi.
4)
Untuk
kepentingan statistik, berbagai efek samping yang jarang ditemui tidak mungkin
dideteksi.
Setelah
diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon obat tersebut akan melalui
serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit
sebelum diresmikan sebagai obat oleh badan pemberi izin. Biaya yang diperlukan
dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat baru lebih
kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah
uji praklinik dan uji klinik.
Uji
praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ
terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang
baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot,
hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat
berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat
diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk
mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat
akut atau kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau
karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain
toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada
manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji
pada manusia.
Di
samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah
dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya
uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba
pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk
menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan
secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada
hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan
toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji
toksisitas secara in vitro.
Setelah
calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka
selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti
dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
Uji klinik
terdiri dari 4 fase yaitu :
1)
Fase I , calon
obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui apakah sifat yang
diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini
ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil
farmakokinetik obat pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk
mendapatkan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini
diatur untuk mencegah keracunan berat. Jika obat yang hendak diuji memiliki
toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus terapi kanker dan AIDS, pasien
sukarelawan dengan penyakit yang berkaitanlah yang digunakan pada fase I
dibanding menggunakan sukarelawan normal. Percobaan fase I dilakukan untuk
menentukan apakah manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara
signifikan terhadap obat dan untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman
yang memungkinkan. Percobaan ini “terbuka”; dimana penguji dan subyek
mengetahui apa yang diberikan selama percobaan. Banyak dugaan keracunan
terdeteksi pada fase ini. Pengukuran farmakokinetik penyerapan, waktu paruh,
dan metabolisme biasanya dilakukan pada fase I. Studi fase I biasanya dilakukan
pada pusat-pusat penelitian dengan ahli farmakologi klinis yang telah dilatih
khusus.
2)
Fase II, calon
obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati efikasi pada penyakit yang
diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan
efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan
pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang
lebih luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II biasanya
dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus (misal rumah sakit universitas).
3)
Fase III
melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan), di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah
diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat
digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa
yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau
kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Sejumlah efek toksik,
khususnya yang disebabkan oleh proses imunologis, pertama kali terlihat nyata
pada fase III. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur
nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat
oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di
Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di
negara Eropa lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal
Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk
dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen
uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan
keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.)
yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan
obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga
dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi
baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru
maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan
ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan
ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system
terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet
salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA,
kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku
obat seperti produksi insulin dll. Setelah calon obat dapat dibuktikan
berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan
keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh
industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta
dapat diresepkan oleh dokter.
4)
Fase IV, setelah
obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing
surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia
dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai
terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil
studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika
membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia
yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri
amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON
disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan
dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan
tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang
sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid
dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan
pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik
karena merusak hati.
B) Parameter Farmakodinamik :
1)
Kadar Terapi : Kisaran
kadar terapi adalah kisaran kadar yang menimbulkan efikasi yang tinggi dengan
risiko toksisitas yang rendah. Beberapa pasien menunjukkan respon terapi pada
kadar di bawah batas bawah, sedangkan beberapa pasien lain memerlukan kadar di
atas batas atas untuk mendapatkan respon terapi.
2)
Kadar Mantap : Merupakan
kadar yang dicapai setelah 4-5 kali waktu paruh obat. Selain itu, pemberian
dosis berulang juga menimbulkan kadar mantap sebab terjadi akumulasi
(peningkatan kadar obat) hingga tercapai suatu keadaan mantap (steady state).
Kadar Mantap dicapai apabila kecepatan eliminasi obat oleh tubuh telah menyamai
kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh.
3)
Efek Maksimal :
merupakan respon maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika diberikan pada
dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan ditunjukkan
oleh plateau pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosis obat dapat dibatasi oleh
timbulnya efek yang tidak diinginkan. Efek maksimal obat tidak selalu
berhubungan dengan potensinya.
4)
Potensi :
merupakan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh: Kadar
obat yang mencapai reseptor tergantung dari sifat2 farmakokinetik obat dan Afinitas
obat terhadap reseptornya. Jika peningkatan dosis pada pasien tertentu tidak
mengarah pada respons klinik selanjutnya, dapat dikatakan efek maksimal telah
tercapai. Pengenalan efek maksimal penting untuk menghindari peningkatan pemberian
dosis yang tidak efektif yang justru dapat menyebabkan toksisitas.
5)
Dosis berulang :
Pada dosis berulang, akan terjadi peningkatan kadar obat (akumulasi) sampai
tercapai keadaan mantap (steady state), dimana kadar obat tidak lagi meningkat
(stabil) karena kecepatan eliminasi obat oleh tubuh telah menyamai kecepatan
masuknya obat ke dalam tubuh. DL
biasanya diberikan untuk obat yang t½ nya relatif terlalu panjang dibandingkan
dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi.
6)
Interval Dosis (
T ) : Dari segi famakokinetik, T yang
rasional untuk kebanyakan obat sama dengan t½ eliminasi obat yang bersangkutan,
dengan demikian kadarnya berfluktuasi 2 x lipat. Obat dengan t½ yang pendek
dapat diberikan dengan T beberapa kali t½nya jika obatya cukup aman untuk
diberikan dalam dosis yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan untuk
menimbulkan efek terapinya.
7)
Sensitivitas : Kepekaan
organ target terhadap konsentrasi obat direfleksikan oleh konsentrasi yang
diperlukan untuk menghasilkan 50% efek maksimum. Kegagalan respon karena
berkurangnya kepekaan dapat dideteksi melalui pengukuran seorang pasien yang semakin
tidak pulih kesehatannya. Hal ini mungkin akibat fisiologis yang tidak normal.
Contohnya Hiperkalemia menurunkan responsivitas terhadap digoxin.
8)
Dosis
Pemeliharaan : Dosis yang cukup untuk mempertahankan pada dosis pengaruh obat
yang diinginkan yang tercapai dengan pemberian jumlah yang lebih besar
sebelumnya.
2.
A)
Morfin secara intravena : Morfin dapat
diberikan secara intravena pada masa perioperatif, kemudian mengeliminasi
pengaruh yang tidak diperkirakan pada absorpsi obat. Puncak efeknya ( waktu
yang sama antara darah dan otak) setelah pemberian morfin secara IV lebih
lambat dibandingkan dengan opioid seperti fentanyl dan alfentanil, membutuhkan
waktu sekitar 15 sampai 30 menit. Konsentrasi morfin plasma setelah injeksi IV
yang cepat tidak berkaitan erat dengan aktivitas farmakologi opioid. Tampaknya,
ketidaksesuaian ini menggambarkan suatu penundaan pada penetrasi morfin
melintasi sawar darah otak. Konsentrasi cairan serebrospinal pada morfin berada
dipuncak sekitar 15 sampai 30 menit setelah injeksi IV dan berkurang menjadi
lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Sebagai hasilnya, efek analgesik
dan depresi pernapasan pada morfin mungkin tidak muncul selama awal dari
konsentrasi plasma yang tinggi setelah pemberian opioid secara IV. Disisi lain,
efek obat yang sama bertahan meskipun menurunkan konsentrasi morfin dalam
plasma. Puncak analgesia dalam waktu 20 menit dan depresi pernafasan maksimal
dalam waktu 7 menit. Didistribusikan ke dalam otot, ginjal, hati, saluran
pencernaan, paru-paru, limpa, dan otak. Dimetabolisme terutama di hati dan
mengalami konjugasi dengan asam glukuronat. Konjugasi sekunder juga terjadi,
yang membentuk metabolite aktif secara farmakologi. Konsentrasi plasma dari
metabolit aktif secara substansial melebihi obat tidak berubah (utuh), dan
metabolit aktif muncul untuk memberikan kontribusi besar terhadap aktivitas
farmakologis obat. Diekskresikan dalam urin terutama sebagai metabolit tidak
aktif; hingga 2-12% dari dosis dihilangkan sebagai obat tidak berubah dalam
urin; 7-10% dari dosis diekskresikan dalam feces. Berarti terminal paruh adalah 1,5-4,5 jam.
B)
Morfin secara intramuskular : Morfin
diabsorpsi dengan baik setelah pemberian secara intramuskuler (IM), dengan
onset efeknya sekitar 15 sampai 30 menit dan puncak efeknya pada 45 sampai 90
menit. Durasi kerjanya sekitar 4 jam. Absorbsi : Cepat dan komplit terjadi
setelah injeksi morfin secara intramuskuler. Distribusi : Waktu paruh opioid
umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat
laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja
juga lebih panjang. Metabolisme : Metabolisme sangat tergantung pada
biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk
yang tidak aktif. Ekskresi : Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang
lebih 10% melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10% morfin
diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif.
C)
Morfin secara subkutan : Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat
diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah
daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis
yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi
morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam
tinja dan keringat.
3.
A)
Turunan etilendiamin (X= N)
Obat golongan ini
umumnya memiliki daya sedativ lemah. Antihistamin golongan ini antara lain
antazolin, tripenelamin, klemizol , dan mepirin. Daya antihistaminiknya kurang
kuat, tetapi tidak merangsang selaput lender. Maka layak digunakan untuk
mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) sebagai preparat
kombinasi dengan nafazolin (Antistin-Privine, Ciba). Etilendiamin lebih larut
dengan air. Etilendiamin mempunyai efek samping penekanan CNS dan gastro
intestinal. Antihistamin tipe piperazin, imidazolin dan fenotiazin mengandung
bagian etilendiamin. Pada kebanyakan molekul obat adanya nitrogen kelihatannya merupakan kondisi yang
diperlukan untuk pembentukan garam yang stabil dengan asam mineral. Gugus amino
alifatik dalam etilen diamin cukup basis untuk pembentukan garam, akan tetapi
atom N yang diikat pada cincin aromatik sangat kurang basis. Elektron bebas
pada nitrogen aril di delokalisasi oleh cincin aromatik.
B) Turunan Kolamin
Terdapat gugus eter
aminoalkil. Aktivitas gugus O lebih kuat daripada gugus N, karena O adalah
golongan 6 dan keelektronegatifannya lebih besar daripada gugus N sehingga
afinitasnya semakin besar. Semakin panjang delokalisasi elektron dalam rantai
maka semakin tinggi efek induksinya sehingga semakin besar afinitasnya semakin
besar. Senyawa-senyawa yang paling aktif mempunyai panjang rantai dua atom C.
Kuarterinisasi nitrogen rantai samping
tidak selalu menghasilkan senyawa yang kurang aktif. Golongan ini mempunyai
aktivitas antikolinergik nyata, yang mempertinggi aksi pengeblokan reseptor
H1 pada sekresi eksokrin. Efek samping
pemakaian eter amino alkil tersier adalah mengantuk, sehingga dipergunakan
sebagai pem-bantu tidur pada obat tanpa resep. Golongan ini dapat mengganggu
penampilan tugas pasien yang memerlukan ketahanan mental.
C) Turunan
Fenotiazin
Senyawa- senyawa
trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu
kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek neuroleptik. Antihistamin
tertua ini (1949) digunakan pada reaksi-reaksi alergi akibat serangga dan
tumbuh-tumbuhan, sebagai anti-emetik untuk mencegah mual dan mabuk jalan.
Selain itu juga pada pusing-pusing (vertigo) dan sebagai sedativum pada
batuk-batuk dan sukar tidur, terutama pada anak-anak. Obat golongan ini
memiliki efek antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat, tetapi
memiliki daya neuroleptik kuat sehingga digunakan pada keadaan psikosis. Selain
itu juga memiliki efek meredakan batuk, maka sering dipakai untuk kombinasi
obat batuk. Atihistamin golongan ini antara lain prometazin, tiazinamidum,
oksomemazin, dan metdilazin. Garam ini berupa serbuk kristalin berupa kuning
muda yang larut dalam air, alcohol dan
kloroform. Selain mempunyai aktivitas sebagai antihistamin, senyawa ini juga
mempunyai efek antiemetik, serta memperkuat kerja obat analgetik dan sedatif. Memperpanjang
rantaisamping dan substitusi gugus
lipofilik pada posisi 2 cincin aromatik menghasilkan senyawa dengan
aktivitas antihistamin yang menurun dan menaikkan sifat psikoterapetik. Dipakai
juga untuk pemakaian lokal karena mempunyai
efek anestesi lokal.
---SEKIAN---
No comments:
Post a Comment