HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES EKSKRESI
- Pengertian Ekskresi
Eksresi adalah proses pengeluaran
zat-zat yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Zat tersebut merupakan zat kimia
obat yang telah mengalami proses metabolisme di dalam hati dan organ lain
ditubuh. Ekskresi baik obat yang tak berubah maupun metabolit merupakan
tempat-hilang yang irreversibel. Akan tetapi perubahan metabolik mengakibatkan
metabolit mempunyai aktivitas dipertinggi, menurun atau sama sekali tak
berubah.
Salah satu jalur pokok eksresi adalah
melalui ginjal dengan jalan adanya atau terbentuknya senyawa yang larut dalam
air. Sesudah mengalami filtrasi glomerulus, resorbsi tubular kedalam plasma
betul-betul lengkap untuk zat yang koefisien partisinya tinggi (lipid/air).
Karena semua obat aktif (sebetulnya kemampuan mereka mengadakan penetrasi dalam
membran selular lipid) itu larut dalam lipid, konversi metabolik umumnya
dihati, menjadi bentuk yang lebih polar menjadi lebih penting untuk
diekskresikan.
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ
ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau kedalam bentuk
asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut
lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ekskresi dari obat yang dikeluarkan
dengan jalan filtrasi glomeruli sangat diperlambat, karena hanya obat bebas
mengalami filtrasi. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh
pengikatan, misalnya benzilpenisilin (PP ca 50%) hampir diekresi seluruhnya
dengan cepat. Ekskresi adalah parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh
oleh gangguan ginjal. Jika filtrasi glomeruler terganggu oleh penyakit ginjal ,
maka klirens obat yang terutama tereliminasi melalui mekanisme ini akan menurun
dan waktu paruh obat dalam plasma menjadi lebih panjang.
Ekskresi merupakan pengeluaran obat atau metabolitnya
dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni. Kebanyakan obat
dikeluarkan melalui air seni dan lazimnya tiap obat diekskresi berupa
metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh, misalnya
penisilin, tetrasiklin, digoksin, dan salisilat. Zat-zat dalam keadaan ion yang
mudah larut di air seni diekskresi dengan mudah. Zat-zat lipofil dan zat-zat
tak terionisasi lebih lambat ekskresinya, untuk meningkatkan sifat hidrofilnya
maka pada biotransformasi dimasukkan gugus -OH dan atau –COOH kedalam
molekulnya.
Selain itu eksresi dapat pula dilakukan dengan cara
lain yaitu melalui kulit, paru-paru, empedu, usus. Eksresi melalui kulit
dikeluarkan bersama keringat, misalnya paraldehid dan bromida (sebagian).
Ekskresi melalui paru-paru dilakukan melalui pernapasan yang biasanya hanya
pada zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehid, dan anestetika (kloroform,
halotan, siklopropan). Untuk ekskresi melalui empedu terjadi pada obat yang
dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein
(pencahar). Setelah tiba kembali dalam usus dengan empedu obat diresorpsi lagi.
Sedangkan untuk ekskresi pada usus terjadi pada zat-zat yang tidak atau tak
lengkap diresorpsi usus dikeluarkan dengan tinja, misanya sulfasuksidin,
neomisin, dan sediaan-sediaan besi.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air
mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali
sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.
- Macam Ekskresi
Sebagian besar obat diekskresikan
keluar tubuh melalui paru, ginjal, empedu atau hati, sebagian kecil dengan
kadar yang rendah diekskresikan melalui air liur dan air susu.
1. Eksresi obat melalui Paru-paru
Obat
yang diekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang digunakan secara
inhalasi, seperti siklopropan, etilen, nitrogen oksida, eter, kloroform, dan
enfluran. Sifat fsik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru
adalah koefisien partisi darah atau udara. Obat yang mempunyai koefisien
partisi darah atau udara kecil, seperti siklopropan dan nitrogen oksida,
diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi darah atau
udara besar, seperti eter dan halotan, diekskresikan lebih lambat.
- Ekskresi obat melalui ginjal
Salah
satu jalan terbesar untuk ekskresi obat adalah melalui ginjal. Ekskresi obat
melalui ginjal melibatkan 3 proses, yaitu:
a. Penyaringan Glomerulus
Ginjal menerima ±
20-25 % cairan tubuh dari curah jantung atau 1,2-1,5 liter darah per menit dan ±
10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus mempunyai pori
karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah ± 40
Ǻ, erat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat yang mudah larut dalam cairan
plasma tau obat yang bersifat hidrofil.
Glomerulus
yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari
albumin melalui celah antar sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak
terikat protein plasma mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam
organic (penisilin, probenasid, salisilat, konyugat, glukuronid, dan asam urat)
disekresi aktif melalui system transport untuk asam organic, dan basa organic
(neostigmin, kolin, histamine) disekresi aktif melalui system transport untuk
basa organic. Kedua system transport tersebut relative tidak selektif sehingga
terjadi kompetisi antar asam orgain dan antar basa organic dalam system
transportnya masing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat, system
transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya seksresi dan reabsorpsi.
Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan
bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi agak ringan. Misalnya
untuk asam seperti barbital dapat diberikan natrium bikarbonat hingga air seni
bereaksi basa. Untuk alkaloida pemberian ammonium klorida akan meningkatkan
keasaman air seni, sehingga obat tersebut lebih banyak ionisasinya.
b. Penyerapan Kembali secara Pasif pada Tubulus
Ginjal.
Sebagian besar obat diserap kembali
dalam tubulus ginjal melalui proses difusi pasif. Penyerapan kembali molekul
obat ke membran tubulus tergantung sifat kimia fisika, seperti ukuran molekul
dan koefisien partisi lemak/air. Obat yang bersifat polar sukar larut dalam
lemak dan tidak diserap kembali oleh membran tubulus. Penyerapan kembali pada
tubulus ginjal sangat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat lektrolit
lemah pada urin normal, pH = 4,8-7,5, sebagian besar terdapat dalam bentuk
tidak terdisosiasi dan mudah larut dalam lemak sehingga mudah diserap kembali
oleh tubulus ginjal.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi
pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah,
proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat
ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak,
sehingga reabsorpsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah
berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip
ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang ekskresinya dapat dipercepat
dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya salisilat, fenobarbital.
Obat
yang bersifat asam lemah, seperti asam salisilat, fenobarbital, nitrofurantoin,
asam nalidiksat, asam benzoat dan sulfonamida, ekskresinya akan meningkat bila
pH urin dibuat basa dan menurun bila pH urin dibuat asam. Contoh: waktu paro
biologis sulfaetidol yang bersifat asam lemah pada pH urin = 5 adalah 11,5 jam
, sedang pada pH urin = 8, waktu paronya menurun menjadi 4,2 jam.
Asam
kuat, dengan pKa lebih kecil dari 2,5 dan basa kuat, dengan pKa lebih besar
dari 12, terionisasi sempurna pada pH urin sehingga sekreksinya tidak
terpengaruh oleh perubahan pH urin.
c. Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus
Ginjal
Obat dapat bergerak dari plasma
darah ke urin melalui membran tubulus ginjal dengan mekanisme pengangkutan
aktif. Contoh:
1).
Bentuk terionisasi obat yang bersifat asam, seperti asam salisilat, penisilin,
probenesid, diuretika turunan tiazida, asam aminophirupat, konjugat sulfat,
konjugat asam glukuronat, indometasin, klorpropramid, dan furosemid.
2).
Bentuk terionisasi oat yang bersifat basa, seperti morfin, kuinin, meperidin,
prokain, histamin, tiamin, dopamin dan turunan amonium kuartener.
Proses pengangkutan aktif obat di
tubulus dapat memberi penjelasan mengapa antibiotika turunan penisilin cepat
diekskresikan dari tubuh.
Kombinasi probenesid dengan
penisilin akan meningkatkan masa kerja penisilin karena probenesid dapat
menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif sehingga
ekskresi penisilin menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan
menimbulkan aktivitas lebih lanjut.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi ekresi obat melalui ginjal :
1. Hemodinamika
Ginjal perubahan kecepatan aliran darah
ginjal umumnya akan mempengaruhi proses-proses filtrasi glomeruler, sekresi
maupun reabsorpsi tubuler, meskipun perubahan di bawah 10 -20% mungkin tidak
akan memperlihatkan akibat yang nyata pengurangan konsumsi natrium mungkin
dapat menurunkan aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruler, sedang pemberian
infus larutan salin dan diuretik osmotik dapat
memperbesar aliran darah ginjal dan ekskresi air tentu saja hal ini akan
berpengaruh pada proses reabsorpsi obat. Beberapa obat diketahui dapat menurunkan
kecepatan aliran darah ginjal, misalnya propranolol. Dalam gambar 1 terlihat
bahwa pemberian propranolol 1 jam sebelumnya menyebabkan turunnya nilai klirens
kreatinin dari 70,9 (� SEM 5.3) ml/menit menjadi 58,6 (� SEM 3.4) ml/menit.
Untuk obat-obat yang ekskresinya tergantung pada kecepatan aliran darah ginjal,
seperti misalnya salisilat dosis tinggi, penurunan kecepatan aliran darah
ginjal menyebabkan turunnya nilai klirens ginjal obat tersebut.
2. Usia
Kemampuan ekskresi ginjal pada
umumnya lebih rendah pada bayi dan anak-anak dan pada usia lanjut bila dibandingkan
dengan orang dewasa normal. Ini disebabkan karena lebih rendahnya kemampuan
filtrasi glomeruler pada anak-anak dan usia lanjut, ditambah dengan belum
sempurnanya sistem sekresi pada bayi baru lahir, meskipun hal ini diimbangi
dengan ikatan protein yang lebih rendah dan juga rendahnya kemampuan reabsorpsi.
3. pH urin
Untuk obat-obat yang bersifat
elektrolit lemah, klirens ginjal sangat dipengaruhi oleh pH urin. Untuk asam
lemah misalnya, lingkungan urin yang asam akan mengakibatkan berkurangnya
jumlah obat yang diekskresi, karena reabsorpsi tubuli meningkat. Sebaliknya,
suatu basa lemah akan mengalami kenaikan ekskresi dalam lingkungan urin yang
sama.
- Ekskresi Obat melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat
yang telah dimetabolisis menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekskresikan
dari hati, melewati empedu, menuju ke usus dengan mekanisme pengangkutan aktif.
Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam
sulfat atau glisin. Di usus bentuk konjugat tersebut secara langsung
diekskresikan melalui tinja atau mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau
bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat non polar sehingga diserap kembali
ke plasma darah. Dari plasma senyawa akan kembali ke hati, dimetabolisis,
dikeluarkan lagi melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga
merupakan suatu siklus, yang dinamakan siklus enterohepatik. Siklus ini
menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang. Zat
warna empedu adalah sisa hasil perombakan sel darah merah yang dilaksanakan
oleh hati dan disimpan pada kantong empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi
jadi urobilinogen yang berguna memberi warna pada tinja dan urin.
Contoh obat
yang mengalami proses siklus enterohepatik antara lain adalah hormon estrogen,
indometasin, digitoksin dan fenolftalien, sedang obat yang langsung
diekkresikan melalui empedu melalui mekanisme pengangkutan aktif antara lain
adalah penisilin, rifampisin, streptomisin, tetrasiklin, hormon steroid dan
glikosida jantung.
- Ekskresi Obat melalui kulit
Obat dapat dieliminasikan dari berbagai rute salah satu diantaranya
adalah kulit. Organ utama proses ekskresi obat tentunya terjadi di ginjal,
tetapi ekskresi obat juga terjadi di paru-paru, di kulit melalui keringat,
liur, air mata, air susu, dan ekskresi minyak pada rambut. Ekskresi obat pada
kulit melalui keringat dan minyak jumlahnya sangat kecil, sehingga tidak
berarti besar dalam pengakhiran efek obat, ekskresi obat melalui ginjal
berperan sangat besar pada pengakhiran efek obat dalam tubuh.
Sangat sedikit sekali senyawa obat yang di ekskresikan
ke luar tubuh melalui kulit bersama keringat misalnya paraldehida dan sebagian
bromida, kebanyakan dari obat bersifat tidak larut dalam air memasuki jalur
metabolisme dalam hati sehingga struktur obat menjadi polar dan mudah
diekskresi. Ekskresi melalui kelenjar minyak dirambut digunakan kedokteran
forensik untuk mendeteksi kematian akibat keracunan dengan adanya logam toksik
seperti arsen pada rambut.
HUBUNGAN
KELARUTAN DENGAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT
- Aktivitas Biologis Senyawa Seri Homolog
Suatu seri homolog senyawa
sukar terdisosiasi, yang perbedaan strukturnya hanya menyangkut perbedaan
jumlah dan panjang rantai atom C, ternyata intensitas efek biologisnya
tergantung pada jumlah atom C.
Contoh senyawa seri homolog
:
1. n-Alkohol, alkilresorsinol, alkilfenol dan
alkilkresol (antibakteri).
2. Ester asam para-aminobenzoat (anestesi setempat).
3. Alkil 4,4’-stilbenediol (hormon estrogen).
Makin panjang rantai samping
atom C, makin bertambah bagian molekul yang bersifat non polar dan terjadi
perubahan sifat fisik, seperti kenaikan sifat didih, berkurangnya kelarutan
dalam air, serta meningkatnya koefisien partisi lemak/air, tegangan permukaan
dan kekentalan. Perubahan sifat fisik ini diikuti dengan peningkatan aktivitas
biologis sampai tercatat aktivitas maksimum. Bila panjang rantai atom C terus
ditingkatkan akan terjadi penurunan aktivitas secara drastis. Hal ini
disebabkan dengan makin bertambahnya jumlah atom C, makin berkurang kelarutan
senyawa dalam air, yang berarti kelarutan dalam cairan luar sel juga berkurang,
sedang kelarutan senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses
pengangkutan obat ke sisi kerja (site of
action) atau reseptor. Oleh karena itu kelarutan dan koefisien partisi
lemak/air merupakan sifat fisik penting dari senyawa seri homolog untuk dapat
menghasilkan aktivitas biologis.
Contoh seri homolog :
1. Seri homolog n-alkohol
Seri homolog n-alifatik
alkohol primer, pada jumlah atom C1 sampai C7 menunjukkan
aktivitas antibakteri terhadap Bacillus
typhosus yang makin meningkat dan mencapai maksimum pada jumlah atom C = 8.
pada jumlah atom C lebih besar 8 aktivitasnya menurun dengan drastis. Terhadap Staphylococcus aureus aktivitasnya
mencapai maksimum pada jumlah atom C = 5.
Rantai alkohol yang
bercabang, seperti alkohol sekunder dan tersier, mempunyai kelarutan dalam air
lebih besar, nilai koefisien partisi lemak/air lebih rendah dibanding alkohol
primer sehingga aktivitas antibakterinya lebih kecil.
Contoh : aktivitas
n-heksanol 2 kali lebih besar dibanding heksanol sekunder dan 5 kali lebih
besar dibanding heksanol tersier. Adanya ikatan rangkap dapat meningkatkan
kelarutan dalam air dan menurunkan aktivitas antibakteri.
Alkohol dengan berat molekul
besar, seperti : setilalkohol, praktis tidak larut dalam air sehingga tidak
berkhasiat sebagai antibakteri.
2. Seri homolog 4-n-alkilresorsinol
Aktivitas antibakteri terhadap Bacillus typhosus mencapai maksimum pada jumlah atom C = 6, dan
terhadap Staphylococcus aureus
aktivitas maksimum dicapai pada jumlah atom C = 9.
3. Seri homolog ester asam vanilat
Tabel hubungan seri homolog ester asam vanilat
dengan aktivitas anti bakterinya terhadap Staphylococcus
aureus.
Ester asam vanilat
|
Koefisien fenol terhadap Staphylococcus aureus
|
Metil
Etil
n-propil
Isopropil
|
1,7
7,3
33,4
11,2
|
4. Seri homolog ester asam para-hidroksi benzoat
Tabel hubungan struktur seri homolog ester asam
para-hidroksi benzoat dengan nilai koefisien partisi dan aktivitas anti bakteri
terhadap Staphylococcus aureus
Ester PHB
|
Koefisien Partisi
|
Koefisien fenol terhadap Staphylococcus aureus
|
Metil
Etil
n-propil
Isopropil
|
1,2
3,4
13
7,3
|
2,6
7,1
15
13
|
- Hubungan Koefisien Partisi dengan Efek Anestesi Sistemik
Koefisien partisi kali
pertama dihubungkan dengan aktivitas biologis obat-obat penekan sistem saraf
pusat, yaitu: efek hipnotik dan anestesi oleh Overton dan Meyer (1899).
Mereka memberikan 3 postulat
yang berhubungan dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori
lemak, sebagai berikut:
a. Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut,
dalam lemak seperti eter, hidrokarbon, dan hidrokarbon terhalogenasidapat
memberikan efek narkosis pada jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya untuk
terdistribusi ke dalam jaringan sel.
b. Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yng banyak
mengandung lemak, seperti sel saraf.
c. Efisiensi anestesi tergantung pada koefisien partisi
lemak/air atau distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa air jaringan.
Dari postulat diatas
dismpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas anestesi dengan koefisien
partisi lemak/air.
Wulf dan Featherstone (1957),
mengemukakan teori anestesi sistemik yang dikenal sebagai teori ukuran molekul.
Beberapa bahan anestetika
yang tidak reaktif, dapat menimbulkan efek anestesi sistemik karena ada
hubungan mendasar antara sifat molekul dengan efek penekan sistem saraf pusat.
Mereka menganggap bahwa tetapan molekul suatu senyawa dengan ada tidaknya
potensi anestesi. Tetapan volume molekul dapat dicari melalui persamaan vander
walls sebagai berikut:
(p + a/V2) (V – b) = Rt
a = tetapan
kepolarisasian gas ideal
b = tetapan volume
molekul
Pauling (1961), mengemukakan
suatu teori anestesi yang penekanannya tidak pada fasa lemak sistem saraf pusat
tetapi pada fasa air, yang dikenal dengan teori klatrat atau teori air.
Obat anastetika yang berupa
gas atau larutan mudah menguap dan bersifat inert, seperti xenon dan kloroform,
mempunyai potensiasi samadan hanya berbeda pada kemampuannya untuk mencapai
reseptor. Pada percobaan in vivo,
xenono dan kloroform dalam lingkungan air dapat membentuk mikrokristal hidrat
(klatrat) yang stabil. Pauling
menganggap bahwa pada in vivo, xenon dan kloroform akan
menduduki ruang-ruang yang berisi molekul air, kemudian bersama-sama dengan
rantai protein dan zat terlarut lain mengubah struktur media air yang
mengelilinginya sehingga lebih terorganisasi dan terstabilkan oleh ikatan van
der Waals, membentuk mikrokristal hidrat. Mikrokristal hidrat yang stabil ini
dapat menyebabkan perubahan daya hantar rangsangan elektrik yang diperlukan
untuk memelihara kesadaran mental sehngga timbul efek anestesi.
- Prinsip Ferguson
Pada prinsip Ferguson,
banyak senyawa seri homolog aktivitasnya akan meningkat sesuai dengan kenaikan
jumlah atom C.
Fuhner ( 1904), mendapatkan bahwa untuk mencapai aktifitas sama,
anggota seri homolog yang lebih tinggi memerlukan kadar yang lebih rendah
sesaui dengan persamaan deret ukur sebagai berikut:
1/31, 1/32,
1/33, 1/34,....................... 1/3n
Contoh: seri homolog obat
penekan sistem saraf pusat, seperti turunan alkohol, keton, amin, ester,
uretan, dan hidrokarbon.
Perubahan
sefat fisik tertentu dari suatu seri homolog, seperti tekanan uap, kelarutan
dalam air, tegangan permukaan dan distribusi dalam pelarut tidak tercampur,
kadang-kadang juga sesuai dengan persamaan deret ukur.
Sifat-sifat
fisik secara umum melibatkan distribusi pada beberapa macam fasa.
Contoh:
a. Kelarutan, melibatkan distribusi antara suatu padatan
atau cairan dan larutan jenuhnya.
b. Tegangan permukaan, melibatkan distribusi antar
larutan dan permukaan.
c. Tekanan uap, melibatkan distribusi antara cairan dan
uap.
Menurut Ferguson, kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan distribusi
pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal, yang kadar senyawanya
dapat diukur, dan biofasa.
Ferguson
menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu
menentukan kadar obat dalam biofasa (reseptor) karena pada keadaan keseimbangan
kecenderungan obat untuk meninggalkan biofasa dan fase eksternal adalah sama,
walaupun kadar obat dalam tiap fasa mungkin berbeda. Kecenderungan obat untuk
meninggalkan fasa disebut aktivitas termodinamik.
Untuk
menjelaskan kecenderungan obat dalam meninggalkan biofasa dan fasa eksternal,
derajat kejenuhan masing-masing fasa merupakan pendekatan yang cukup beralasan.
Contoh hubungan aktivitas biologis obat dengan aktifitas
termodinamik:
a. Seri
homolog n-alkohol primer, kadar
antibakteri terhadap Bacillus typhosus bervariasi antara 0,0034-10,8 mol/liter,
sedang aktifitas termodinamiknya berkisar antara 0,33-0,88.
b. Obat
penekan sistem saraf pusat yang berupa gas atau uap, seperti nitrogen oksida, etil klorida, kloroform,
asetilen, dietil formaldehid, dan eter, kadar isonarkotik bervariasi antara
0,5-100%, sedang aktifitas termodinamiknya berkisar antara 0,01-0,07.
Model Kerja Obat
Berdasarkan model kerja farmakologisnya, secara umum obat dibagi menjadi
dua golongan, yaitu :
- Senyawa
Berstruktur Tidak Khas
Senyawa berstruktur tidak khas adalah senyawa dengan struktur kimia
bervariasi, tidak berinteraksi dengan reseptor khas dan aktivitas biologisnya
secara langsung dipengaruhi oleh struktur kimia tetapi lebih dipengaruhi oleh
sifat-sifat kimia fisika, seperti derajat ionisasi kelarutan, aktivitas
termodinamik, tegangan permukaan dan redoks potensial. Terlihat bahwa efek
biologis terjadi karena terkumpulnya obat pada daerah penting dari sel sehingga
menyebabkan ketidakteraturan rantai proses metabolisme.
Senyawa berstruktur tidak khas menunjukkan aktivitas fisik dengan
karakteritik sebagai berikut :
a.
Efek biologis berhubungan langsung dengan aktivitas
termodinamik dan untuk menimbulkan efek memerlukan dosis yang relative besar.
b.
Walaupun perbedaan struktur kimia besar, asal mempunyai
aktivitas termodinamik sama akan memberikan efek yang sama pula.
c.
Ada
kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
d.
Bila terjadi kesetimbangan, aktivitas termodinamik
masing-masing fasa harus sama.
e.
Pengukuran aktivitas termodinamik pada fasa eksternal
juga mecerminkan aktivitas termodinamik biofasa.
f.
Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa gas
atau uap dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut :
g.
Senyawa dengan derajat kejenuhan sama mempunyai
aktivitas termodinamik sama sehingga derajat efek biologis sama pula. Oleh
karena itu larutan jenuh dari senyawa dengan struktur yang berbeda dapat
memberikan efek biologis yang sama.
Contoh senyawa yang berstruktur tidak khas :
1. Obat
anastesi sistemik yang berupa gas atau uap, seperti etil klorida, asetilen,
nitrogen oksida, eter dan kloroform.
Nama gas/uap
|
P
uap (Ps) mm.
|
Kadar
anastesi (% vol)
|
P
parsial (Pt) mm
|
(a)
(Pt/Ps)
|
Nitrogen
oksida
Etilen
Asetilen
Etil klorida
|
59,3
49,5
51,7
1,78
|
100
80
65
5
|
760
610
495
38
|
0,01
0,01
0,01
0,02
|
Hubungan
Kadar Isoanastesi Beberapa Obat Anastesi, yang Berupa Uap atau Gas, dengan
Aktivitas Termodinamik, pada Manusia (pada suhu 37oC)
2. Insektisida
yang mudah menguap dan bakterisida tertentu, seperti timol, fenol, kresol,
n-alkohol dan resorsinol.
Nama
Obat
|
Kadar
Bakterisid (St), Molar
|
Kelarutan
(So), Molar,25oC
|
(a)
(St/So)
|
Timol
Oktanol
O-kresol
Fenol
|
0,0022
0,0034
0,039
0,097
|
0,0057
0,0040
0,23
0,90
|
0,38
0,88
0,17
0,11
|
Hubungan
Kadar Bakterisid Beberapa insektisida yang mudah menguap terhadap Salmonella typhosa dengan Aktivitas
Termodinamik
2. Senyawa Berstruktur Khas
Senyawa berstruktur khas adalah senyawa yang
memberikan efeknya dengan mengikat reseptor atau aseptor yang khas.
Mekanisme kerjanya dapat melewati salah satu cara
berikut yaitu:
a) Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara pengaktifan,
penghambatan atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
b) Bekerja sebagai antagonis, secara antagonis kimia,
fungsional, farmakologis, atau anatgonis metabolik.
c) Menekan fungsi gen, yaitu dengan menghambat
biosintesis asam nukleat atau sintesis protein.
d) Bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran
sel dan mempengaruhi sistem pengangkutan membran sel.
Aktivitas biologis senyawa berstruktur khas tidak
tergantung pada struktur kimia yang khas tidak bergantung pada aktivitas
termodinamik (nilai a lebih kecil dari 0,01) tetapi lebih tergantung pada
struktur kimia yang khas. Kereaktifan kimia, bentuk, ukuran dan pengaturan
stereo kimia molekul, distribusi gugus fungsional, efek induksi dan resonansi,
distribusi elektronik dan interaksi dengan reseptor mempunyai peran yang
menentukan untuk terjadinya aktifitas biologis
Senyawa berstruktur khas mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
a) Efektif pada kadar yang rendah .
b) Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa
dan fasa eksternal.
c) Melibatkan ikatan-ikata kimia yang lebih kuat
dibanding pada ikatan senyawa yang berstruktur tidak khas.
d) Pada keadaan kesetimbangan aktivitas biologisnya
maksimal.
e) Sifat fisik dan kimia sama-sama berperan dalam
menentukan efek biologis.
f)
Secara umum
mempunyai struktur dasar karakteristik yang bertanggung jawab terhadap efek
biologis senyawa analog.
g) Sedikit perubahan struktur dapat mempengaruhi secara
drastis aktivitas biologis obat.
Contoh obat yang berstruktur khas: obat antikanker,
antimalaria, antibiotika, obat adrenergik, antihistamin, dan diuretik.
Sumber : Makalah Kimia Medisinal Program Studi S-1 Farmasi
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
2008
No comments:
Post a Comment