Tuesday, April 12, 2016

UTS KIMIA MEDISINAL

SOAL

1.  Akhir-akhir ini banyak bermunculan penyakit baru yang mengancam dunia dan berpotensi menjadi epidemi global.
a.    Jelaskan bagaimana pendekatan modern bekerja agar obat untuk membasmi penyakit tersebut segera ditemukan.
b. Bila obatnya berhasil ditemukan, gunakan parameter farmakodinamik dalam mendesain turunan sehingga dihasilkan obat dengan efikasi tinggi.

2. Berikan satu contoh analgesik dan jelaskan secara farmakokinetik argumentasi efikasinya bila diadministrasikan secara :
a.    Intravena
b.    Intramuskular
c.    Subkutan

3.    Jelaskan beberapa keunikan secara farmakodinamik masing-masing antihistamin berikut ini :
a.    Turunan Etilendiamin
b.    Turunan Kolamin
c.    Turunan Fenotiazin


JAWABAN

1.    A) Sebagian besar obat baru atau produk obat ditemukan atau dikembangkan melalui satu  atau lebih dari enam pendekatan berikut:
1)   Identifikasi atau elusidasi target obat baru.
2)   Desain obat baru yang rasional berdasarkan pemahaman akan mekanisme biologik, struktur reseptor, dan struktur obat.
3)   Modifikasi molekul terkait secara kimiawi.
4)   Skrining terhadap aktivitas biologik produk-produk alamiah, kumpulan berbagai unsur kimiawi yang telah ditemukan sebelumnya, dan kumpulan berbagai peptida, asam nukleat, dan molekul organik lainnya.
5)   Bioteknologi dan kloning menggunakan gen untuk menghasilkan berbagai peptida dan protein. Upaya untuk menemukan target dan pendekatan dalam pengembangan dan penemuan obat baru terus dilakukan melalui berbagai penelitian dalam bidang genomik, proteomik, asam nukleat dan farmakologi molekuler untuk terapi medikamentosa. Peningkatan jumlah target obat pada penyakit secara signifikan hendaknya memotivasi pembaruan dan peningkatan obat.
6)   Kombinasi berbagai obat yang telah dikenal untuk mendapatkan efek aditif atau sinergistik atau reposisi obat tersebut untuk keperluan pengobatan yang baru.

Penyaringan Obat
          Tanpa memandang sumber atau gagasan utama yang mengarah pada suatu molekul kandidat obat, uji obat melibatkan serangkaian eksperimen dan penelitian pada makhluk hidup yang dilaksanakan secara konsisten. Proses ini dinamakan skrining obat. Beragam uji (assay) biologik pada hewan percobaan baik pada tingkat molekular, selular, organ, maupun holistik digunakan untuk menentukan aktivitas dan selektivitas obat. Jenis dan jumlah uji skrining awal bergantung pada tujuan farmakologi dan terapeutik. Berbagai obat anti-infeksi akan diuji terhadap berbagai organisme penyebab infeksi, beberapa diantaranya menunjukkan resitensi terhadap obat standar, dan berbagai obat hipoglikemik akan diuji kemampuannya untuk menurunkan gula darah, dan sebagainya. Selain itu, kumpulan berbagai kerja lainnya dari satu molekul juga akan diteliti untuk menentukan mekanisme kerja dan selektivitas obat. Hal ini mempunyai keuntungan karena dapat memperlihatkan berbagai efek toksik baik yang diduga maupun yang tidak diduga. Terkadang, seorang pengamat yang cukup teliti dapat menemukan suatu efek terapeutik yang tidak diduga sebelumnya. Pemilihan molekul-molekul yang akan diteliti lebih lanjut paling efisien dilakukan melalui model penyakit manusia pada hewan percobaan. Pada umumnya, manusia memiliki obat-obatan yang adekuat untuk berbagai keadaan dengan model perkiraan pra klinis yang baik (contohnya obat antibakterial, penyakit hipertensi atau trombotik). Untuk penyakit yang memiliki model pra klinis yang buruk atau yang sama sekali belum memiliki model pra klinis, seperti pada penyakit Alzheimer, obat-obatan yang adekuat umumnya belum tersedia dan jarang terdapat terobosan baru dalam peningkatan terapi.
          Selama skrining obat berlangsung, berbagai penelitian dilakukan untuk mendapatkan profil farmakologis obat tersebut pada tingkat molekular, selular, sistem, organ, dan orgnisme. Sebagai contoh, serangkaian uji akan dilakukan terhadap suatu obat yang dirancang sebagai antagonis adrenoseptor-α pembuluh darah untuk pengobatan hipertensi.
          Pada tingkat molekuler, skrining akan dilakukan terhadap senyawa tersebut untuk menentukan afinitas ikatan dengan reseptor pada membran sel yang mengandung berbagai reseptor α (jika memungkinkan, pada reseptor yang terdapat pada manusia), pada berbagai reseptor lainnya, dan pada tempat pengikatan enzim. Jika struktur kristal obat beserta targetnya tersedia, analisis struktur biologi atau skrining virtual dengan menggunakan komputer (computer-assisted virtual screening) dapat dilakukan untuk lebih memahami interaksi obat dengan reseptor. Berbagai penelitian awal dapat dilakukan untuk memperkirakan efek-efek yang mungkin akan menyebabkan metabolisme obat yang tidak diinginkan atau komplikasi toksikologik. Sebagai contoh, penelitian terhadap enzim sitokrom P450 hati dilakukan untuk menentukan apakah obat tersebut berfungsi sebagai substrat atau inhibitor enzim tersebut atau akan mempengaruhi metabolisme obat lain. Pengaruhnya terhadap kanal ion jantung seperti kanal kalium hERG, yang diperkirakan dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa, dapat dipertimbangkan.
          Pengaruhnya terhadap fungsi sel akan diteliti untuk menentukan apakah obat tersebut bersifat agonis, agonis parsial, atau antagonis reseptor α. Suatu jaringan terpisah (isolated tissue), terutama jaringan otot polos pembuluh darah, digunakan untuk melihat aktivitas farmakologis dan selektivitas senyawa baru dibandingkan dengan senyawa referensi. Pembandingan dengan obat-obatan lain juga dilakukan pada preparat in vitro lain seperti otot polos saluran cerna dan bronkus. Pada tiap tahapan proses ini, senyawa harus memenuhi persyaratan spesifik untuk dapat maju ke tahapan selanjutnya.
          Penelitian pada hewan secara holistik umumnya diperlukan untuk menentukan efek obat pada sistem organ dan model penyakit. Penelitian pengaruh semua obat baru terhadap kardiovaskular dan ginjal umumnya pertama kali dilakukan pada hewan normal. Jika memenuhi standar kelayakan, penelitian juga dapat dilakukan pada model penyakit. Suatu kandidat obat antihipertensi akan diujikan pada hewan percobaan dengan hipertensi untuk melihat apakah terjadi penurunan tekanan darah sesuai dosis (dose-related manner) dan untuk mengetahui efek lain senyawa tersebut. Berbagai bukti mengenai lama kerja dan efektivitas senyawa tersebut baik pada pemberian oral maupun parenteral kemudian akan dikumpulkan. Jika terbukti berpotensi, zat ini akan diteliti lebih lanjut mengenai kemungkinan adanya efek samping terhadap berbagai sistem organ utama, termasuk pernapasan, gastrointestinal, endokrin, dan sistem saraf pusat (SSP).
          Berbagai penelitian ini dapat memberikan anjuran mengenai perlu tidaknya dilakukan modifikasi kimiawi lebih lanjut untuk memperoleh sifat-sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang lebih diinginkan. Sebagai contoh, penelitian pada pemberian obat secara oral dapat memperlihatkan bahwa obat ini sukar diabsorpsi atau cepat dimetabolisme dalam hati; modifikasi untuk meningkatkan bioavailabilitas mungkin diindikasikan. Jika obat direncanakan untuk digunakan secara menahun, perlu dilakukan kajian mengenai perkembangan toleransi. Untuk berbagai obat yang berhubungan dengan atau memiliki mekanisme kerja yang serupa dengan berbagai obat yang diketahui menyebabkan ketergantungan fisik, potensi penyalahgunaannya juga perlu diteliti. Mekanisme farmakologik untuk tiap kerja utama obat juga akan dicari.
          Hasil yang diinginkan dari prosedur skrining ini (yang mungkin perlu diulang beberapa kali dengan analog atau kongener molekul aslinya) disebut sebagai senyawa utama (lead compound), yaitu kandidat utama untuk obat baru yang diperkirakan akan berhasil. Senyawa tersebut umumnya akan didaftarkan dan dipatenkan baik sebagai senyawa baru (paten mengenai komposisi suatu materi) yang bermanfaat maupun sebagai pengobatan yang baru dan berbeda dengan zat kimiawi yang telah dikenal sebelumnya untuk suatu penyakit (paten mengenai penggunaan).

Uji Keamanan Dan Toksisitas Praklinik
          Semua obat bersifat toksik pada dosis tertentu. Menetapkan batas toksisitas dan indeks terapeutik antara manfaat dan risiko (risk and benefit) suatu obat secara tepat mungkin merupakan bagian terpenting dari proses pengembangan suatu obat baru. Sebagian besar kandidat obat gagal dipasarkan, tetapi seni pengembangan dan penemuan obat terletak pada kajian dan manajemen resiko yang efektif, bukan pada penghindaran risiko secara total.
          Berbagai obat kandidat yang telah melewati prosedur skrining dan penetapan profil awal harus dievaluasi secara hati-hati akan adanya berbagai risiko potensial sebelum dan selama dilakukannya uji klinis. Bergantung pada tujuan penggunaan obat, uji toksisitas pra klinik mencakup sebagian besar atau seluruh prosedur yang tercantum dalam tabel I. Walaupun tidak ada zat kimiawi yang dapat dikatakan sepenuhnya ‘aman’ (bebas dari risiko), tujuan uji ini adalah untuk memperkirakan risiko yang berhubungan dengan keterpajanan terhadap kandidat obat dan untuk mempertimbangkan hal ini dalam hubungannya dengan penggunaan terapeutik dan lama penggunaan suatu obat.
          Berbagai tujuan penelitian terhadap toksisitas pra klinik antara lain adalah untuk mengidentifikasi potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai uji untuk menetapkan mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas yang spesifik dan paling relevan untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai tambahan berbagai penelitian yang tercantum dalam tabel I, diperlukan pula beberapa perkiraan kuantitatif seperti ‘no effect’ dose – dosis maksimum tidak terlihatnya suatu efek toksik tertentu; dosis letal minimum – dosis terkecil yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila perlu, dosis letal median (LD50) – dosis yang mematikan sekitar 50% hewan. Saat ini nilai LD50,diperkirakan dengan menggunakan hewan percobaan dalam jumlah yang sekecil mungkin. Berbagai dosis ini digunakan dalam perhitungan dosis awal yang akan diujikan pada manusia, biasanya diambil seperseratus atau sepersepuluh dari nilai no-effect dose pada hewan.
          Terdapat berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui antara lain sebagai berikut:
1)   Uji toksisitas merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu sekitar 2 sampai 6 tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta memperkirakan indeks terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang memberikan efek terapeutik dan yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum dianggap layak uji pada manusia.
2)   Diperlukan sejumlah besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis yang sahih (valid). Para ilmuwan menaruh perhatian besar akan hal ini, dan berbagai kemajuan telah dicapai untuk menurunkan jumlah hewan yang digunakan dengan tetap mempertahankan kesahihan data. Kultur sel dan jaringan dengan berbagai metode in vitro makin banyak digunakan, namun nilai perkiraan yang dihasilkan masih sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa golongan masyarakat berusaha untuk menghentikan semua uji menggunakan hewan percobaan dengan alasan yang tidak berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan lagi.
3)   Ekstrapolasi indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat memberikan perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya. Untuk menemukan suatu proses yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety Testing Consortium, yakni suatu badan yang merupakan gabungan lima perusahaan farmasi terbesar di Amerika Serikat dengan Food and Drug Administration (FDA) sebagai badan penasehat, untuk memperkirakan keamanan suatu pengobatan sebelum diujikan pada manusia. Hal ini dicapai dengan cara menggabungkan berbagai metode laboratorium yang dikembangkan secara internal dalam tiap perusahaan farmasi.
4)   Untuk kepentingan statistik, berbagai efek samping yang jarang ditemui tidak mungkin dideteksi.
          Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh badan pemberi izin. Biaya yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat baru lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah uji praklinik dan uji klinik.
          Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
          Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.
          Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro.
          Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.

Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
1)   Fase I , calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk mendapatkan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk mencegah keracunan berat. Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang berkaitanlah yang digunakan pada fase I dibanding menggunakan sukarelawan normal. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan terhadap obat dan untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini “terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang diberikan selama percobaan. Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini. Pengukuran farmakokinetik penyerapan, waktu paruh, dan metabolisme biasanya dilakukan pada fase I. Studi fase I biasanya dilakukan pada pusat-pusat penelitian dengan ahli farmakologi klinis yang telah dilatih khusus.
2)   Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang lebih luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus (misal rumah sakit universitas).
3)   Fase III melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan), di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Sejumlah efek toksik, khususnya yang disebabkan oleh proses imunologis, pertama kali terlihat nyata pada fase III. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
4)   Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.

B) Parameter Farmakodinamik :
1)   Kadar Terapi : Kisaran kadar terapi adalah kisaran kadar yang menimbulkan efikasi yang tinggi dengan risiko toksisitas yang rendah. Beberapa pasien menunjukkan respon terapi pada kadar di bawah batas bawah, sedangkan beberapa pasien lain memerlukan kadar di atas batas atas untuk mendapatkan respon terapi.
2)   Kadar Mantap : Merupakan kadar yang dicapai setelah 4-5 kali waktu paruh obat. Selain itu, pemberian dosis berulang juga menimbulkan kadar mantap sebab terjadi akumulasi (peningkatan kadar obat) hingga tercapai suatu keadaan mantap (steady state). Kadar Mantap dicapai apabila kecepatan eliminasi obat oleh tubuh telah menyamai kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh.
3)   Efek Maksimal : merupakan respon maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan ditunjukkan oleh plateau pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosis obat dapat dibatasi oleh timbulnya efek yang tidak diinginkan. Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya.
4)   Potensi : merupakan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh: Kadar obat yang mencapai reseptor tergantung dari sifat2 farmakokinetik obat dan Afinitas obat terhadap reseptornya. Jika peningkatan dosis pada pasien tertentu tidak mengarah pada respons klinik selanjutnya, dapat dikatakan efek maksimal telah tercapai. Pengenalan efek maksimal penting untuk menghindari peningkatan pemberian dosis yang tidak efektif yang justru dapat menyebabkan toksisitas.
5)   Dosis berulang : Pada dosis berulang, akan terjadi peningkatan kadar obat (akumulasi) sampai tercapai keadaan mantap (steady state), dimana kadar obat tidak lagi meningkat (stabil) karena kecepatan eliminasi obat oleh tubuh telah menyamai kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh.  DL biasanya diberikan untuk obat yang t½ nya relatif terlalu panjang dibandingkan dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi.
6)   Interval Dosis ( T ) : Dari segi famakokinetik, T  yang rasional untuk kebanyakan obat sama dengan t½ eliminasi obat yang bersangkutan, dengan demikian kadarnya berfluktuasi 2 x lipat. Obat dengan t½ yang pendek dapat diberikan dengan T beberapa kali t½nya jika obatya cukup aman untuk diberikan dalam dosis yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek terapinya.
7)   Sensitivitas : Kepekaan organ target terhadap konsentrasi obat direfleksikan oleh konsentrasi yang diperlukan untuk menghasilkan 50% efek maksimum. Kegagalan respon karena berkurangnya kepekaan dapat dideteksi melalui pengukuran seorang pasien yang semakin tidak pulih kesehatannya. Hal ini mungkin akibat fisiologis yang tidak normal. Contohnya Hiperkalemia menurunkan responsivitas terhadap digoxin.
8)   Dosis Pemeliharaan : Dosis yang cukup untuk mempertahankan pada dosis pengaruh obat yang diinginkan yang tercapai dengan pemberian jumlah yang lebih besar sebelumnya.

2.    A) Morfin secara intravena : Morfin dapat diberikan secara intravena pada masa perioperatif, kemudian mengeliminasi pengaruh yang tidak diperkirakan pada absorpsi obat. Puncak efeknya ( waktu yang sama antara darah dan otak) setelah pemberian morfin secara IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid seperti fentanyl dan alfentanil, membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 30 menit. Konsentrasi morfin plasma setelah injeksi IV yang cepat tidak berkaitan erat dengan aktivitas farmakologi opioid. Tampaknya, ketidaksesuaian ini menggambarkan suatu penundaan pada penetrasi morfin melintasi sawar darah otak. Konsentrasi cairan serebrospinal pada morfin berada dipuncak sekitar 15 sampai 30 menit setelah injeksi IV dan berkurang menjadi lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Sebagai hasilnya, efek analgesik dan depresi pernapasan pada morfin mungkin tidak muncul selama awal dari konsentrasi plasma yang tinggi setelah pemberian opioid secara IV. Disisi lain, efek obat yang sama bertahan meskipun menurunkan konsentrasi morfin dalam plasma. Puncak analgesia dalam waktu 20 menit dan depresi pernafasan maksimal dalam waktu 7 menit. Didistribusikan ke dalam otot, ginjal, hati, saluran pencernaan, paru-paru, limpa, dan otak. Dimetabolisme terutama di hati dan mengalami konjugasi dengan asam glukuronat. Konjugasi sekunder juga terjadi, yang membentuk metabolite aktif secara farmakologi. Konsentrasi plasma dari metabolit aktif secara substansial melebihi obat tidak berubah (utuh), dan metabolit aktif muncul untuk memberikan kontribusi besar terhadap aktivitas farmakologis obat. Diekskresikan dalam urin terutama sebagai metabolit tidak aktif; hingga 2-12% dari dosis dihilangkan sebagai obat tidak berubah dalam urin; 7-10% dari dosis diekskresikan dalam feces. Berarti terminal paruh adalah 1,5-4,5 jam.

B)   Morfin secara intramuskular : Morfin diabsorpsi dengan baik setelah pemberian secara intramuskuler (IM), dengan onset efeknya sekitar 15 sampai 30 menit dan puncak efeknya pada 45 sampai 90 menit. Durasi kerjanya sekitar 4 jam. Absorbsi : Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin secara intramuskuler. Distribusi : Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga lebih panjang. Metabolisme : Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif. Ekskresi : Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10% morfin diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif.

C)   Morfin secara subkutan : Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.

3.    A) Turunan etilendiamin (X= N)
Obat golongan ini umumnya memiliki daya sedativ lemah. Antihistamin golongan ini antara lain antazolin, tripenelamin, klemizol , dan mepirin. Daya antihistaminiknya kurang kuat, tetapi tidak merangsang selaput lender. Maka layak digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) sebagai preparat kombinasi dengan nafazolin (Antistin-Privine, Ciba). Etilendiamin lebih larut dengan air. Etilendiamin mempunyai efek samping penekanan CNS dan gastro intestinal. Antihistamin tipe piperazin, imidazolin dan fenotiazin mengandung bagian etilendiamin. Pada kebanyakan molekul obat adanya  nitrogen kelihatannya merupakan kondisi yang diperlukan untuk pembentukan garam yang stabil dengan asam mineral. Gugus amino alifatik dalam etilen diamin cukup basis untuk pembentukan garam, akan tetapi atom N yang diikat pada cincin aromatik sangat kurang basis. Elektron bebas pada nitrogen aril di delokalisasi oleh cincin aromatik.

B) Turunan Kolamin
Terdapat gugus eter aminoalkil. Aktivitas gugus O lebih kuat daripada gugus N, karena O adalah golongan 6 dan keelektronegatifannya lebih besar daripada gugus N sehingga afinitasnya semakin besar. Semakin panjang delokalisasi elektron dalam rantai maka semakin tinggi efek induksinya sehingga semakin besar afinitasnya semakin besar. Senyawa-senyawa yang paling aktif mempunyai panjang rantai dua atom C. Kuarterinisasi nitrogen rantai  samping tidak selalu menghasilkan senyawa yang kurang aktif. Golongan ini mempunyai aktivitas antikolinergik nyata, yang mempertinggi aksi pengeblokan reseptor H1  pada sekresi eksokrin. Efek samping pemakaian eter amino alkil tersier adalah mengantuk, sehingga dipergunakan sebagai pem-bantu tidur pada obat tanpa resep. Golongan ini dapat mengganggu penampilan tugas pasien yang memerlukan ketahanan mental.

C) Turunan Fenotiazin
Senyawa- senyawa trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek neuroleptik. Antihistamin tertua ini (1949) digunakan pada reaksi-reaksi alergi akibat serangga dan tumbuh-tumbuhan, sebagai anti-emetik untuk mencegah mual dan mabuk jalan. Selain itu juga pada pusing-pusing (vertigo) dan sebagai sedativum pada batuk-batuk dan sukar tidur, terutama pada anak-anak. Obat golongan ini memiliki efek antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat, tetapi memiliki daya neuroleptik kuat sehingga digunakan pada keadaan psikosis. Selain itu juga memiliki efek meredakan batuk, maka sering dipakai untuk kombinasi obat batuk. Atihistamin golongan ini antara lain prometazin, tiazinamidum, oksomemazin, dan metdilazin. Garam ini berupa serbuk kristalin berupa kuning muda yang larut dalam air, alcohol  dan kloroform. Selain mempunyai aktivitas sebagai antihistamin, senyawa ini juga mempunyai efek antiemetik, serta memperkuat kerja  obat analgetik dan sedatif. Memperpanjang rantaisamping dan substitusi gugus  lipofilik pada posisi 2 cincin aromatik menghasilkan senyawa dengan aktivitas antihistamin yang menurun dan menaikkan sifat psikoterapetik. Dipakai juga untuk pemakaian lokal karena mempunyai  efek anestesi lokal.


---SEKIAN---

     

No comments:

Post a Comment