Tuesday, March 29, 2016

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES EKSKRESI DAN HUBUNGAN KELARUTAN DENGAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES EKSKRESI

  • Pengertian Ekskresi

         Eksresi adalah proses pengeluaran zat-zat yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Zat tersebut merupakan zat kimia obat yang telah mengalami proses metabolisme di dalam hati dan organ lain ditubuh. Ekskresi baik obat yang tak berubah maupun metabolit merupakan tempat-hilang yang irreversibel. Akan tetapi perubahan metabolik mengakibatkan metabolit mempunyai aktivitas dipertinggi, menurun atau sama sekali tak berubah.
         Salah satu jalur pokok eksresi adalah melalui ginjal dengan jalan adanya atau terbentuknya senyawa yang larut dalam air. Sesudah mengalami filtrasi glomerulus, resorbsi tubular kedalam plasma betul-betul lengkap untuk zat yang koefisien partisinya tinggi (lipid/air). Karena semua obat aktif (sebetulnya kemampuan mereka mengadakan penetrasi dalam membran selular lipid) itu larut dalam lipid, konversi metabolik umumnya dihati, menjadi bentuk yang lebih polar menjadi lebih penting untuk diekskresikan.
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau kedalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ekskresi dari obat yang dikeluarkan dengan jalan filtrasi glomeruli sangat diperlambat, karena hanya obat bebas mengalami filtrasi. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, misalnya benzilpenisilin (PP ca 50%) hampir diekresi seluruhnya dengan cepat. Ekskresi adalah parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh gangguan ginjal. Jika filtrasi glomeruler terganggu oleh penyakit ginjal , maka klirens obat yang terutama tereliminasi melalui mekanisme ini akan menurun dan waktu paruh obat dalam plasma menjadi lebih panjang.
Ekskresi merupakan pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni. Kebanyakan obat dikeluarkan melalui air seni dan lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh, misalnya penisilin, tetrasiklin, digoksin, dan salisilat. Zat-zat dalam keadaan ion yang mudah larut di air seni diekskresi dengan mudah. Zat-zat lipofil dan zat-zat tak terionisasi lebih lambat ekskresinya, untuk meningkatkan sifat hidrofilnya maka pada biotransformasi dimasukkan gugus -OH dan atau –COOH kedalam molekulnya.
Selain itu eksresi dapat pula dilakukan dengan cara lain yaitu melalui kulit, paru-paru, empedu, usus. Eksresi melalui kulit dikeluarkan bersama keringat, misalnya paraldehid dan bromida (sebagian). Ekskresi melalui paru-paru dilakukan melalui pernapasan yang biasanya hanya pada zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehid, dan anestetika (kloroform, halotan, siklopropan). Untuk ekskresi melalui empedu terjadi pada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein (pencahar). Setelah tiba kembali dalam usus dengan empedu obat diresorpsi lagi. Sedangkan untuk ekskresi pada usus terjadi pada zat-zat yang tidak atau tak lengkap diresorpsi usus dikeluarkan dengan tinja, misanya sulfasuksidin, neomisin, dan sediaan-sediaan besi.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.

  • Macam Ekskresi

         Sebagian besar obat diekskresikan keluar tubuh melalui paru, ginjal, empedu atau hati, sebagian kecil dengan kadar yang rendah diekskresikan melalui air liur dan air susu.
1.   Eksresi obat melalui Paru-paru
Obat yang diekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang digunakan secara inhalasi, seperti siklopropan, etilen, nitrogen oksida, eter, kloroform, dan enfluran. Sifat fsik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah koefisien partisi darah atau udara. Obat yang mempunyai koefisien partisi darah atau udara kecil, seperti siklopropan dan nitrogen oksida, diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi darah atau udara besar, seperti eter dan halotan, diekskresikan lebih lambat.

  • Ekskresi obat melalui ginjal

Salah satu jalan terbesar untuk ekskresi obat adalah melalui ginjal. Ekskresi obat melalui ginjal melibatkan 3 proses, yaitu:
a.   Penyaringan Glomerulus
            Ginjal menerima ± 20-25 % cairan tubuh dari curah jantung atau 1,2-1,5 liter darah per menit dan ± 10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus mempunyai pori karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah ± 40 Ǻ, erat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat yang mudah larut dalam cairan plasma tau obat yang bersifat hidrofil.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antar sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organic (penisilin, probenasid, salisilat, konyugat, glukuronid, dan asam urat) disekresi aktif melalui system transport untuk asam organic, dan basa organic (neostigmin, kolin, histamine) disekresi aktif melalui system transport untuk basa organic. Kedua system transport tersebut relative tidak selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam orgain dan antar basa organic dalam system transportnya masing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat, system transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya seksresi dan reabsorpsi. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi agak ringan. Misalnya untuk asam seperti barbital dapat diberikan natrium bikarbonat hingga air seni bereaksi basa. Untuk alkaloida pemberian ammonium klorida akan meningkatkan keasaman air seni, sehingga obat tersebut lebih banyak ionisasinya.
b.   Penyerapan Kembali secara Pasif pada Tubulus Ginjal.
            Sebagian besar obat diserap kembali dalam tubulus ginjal melalui proses difusi pasif. Penyerapan kembali molekul obat ke membran tubulus tergantung sifat kimia fisika, seperti ukuran molekul dan koefisien partisi lemak/air. Obat yang bersifat polar sukar larut dalam lemak dan tidak diserap kembali oleh membran tubulus. Penyerapan kembali pada tubulus ginjal sangat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat lektrolit lemah pada urin normal, pH = 4,8-7,5, sebagian besar terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi dan mudah larut dalam lemak sehingga mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak, sehingga reabsorpsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang ekskresinya dapat dipercepat dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya salisilat, fenobarbital.
Obat yang bersifat asam lemah, seperti asam salisilat, fenobarbital, nitrofurantoin, asam nalidiksat, asam benzoat dan sulfonamida, ekskresinya akan meningkat bila pH urin dibuat basa dan menurun bila pH urin dibuat asam. Contoh: waktu paro biologis sulfaetidol yang bersifat asam lemah pada pH urin = 5 adalah 11,5 jam , sedang pada pH urin = 8, waktu paronya menurun menjadi 4,2 jam.
            Asam kuat, dengan pKa lebih kecil dari 2,5 dan basa kuat, dengan pKa lebih besar dari 12, terionisasi sempurna pada pH urin sehingga sekreksinya tidak terpengaruh oleh perubahan pH urin.
c.   Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal
            Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui membran tubulus ginjal dengan mekanisme pengangkutan aktif. Contoh:
1). Bentuk terionisasi obat yang bersifat asam, seperti asam salisilat, penisilin, probenesid, diuretika turunan tiazida, asam aminophirupat, konjugat sulfat, konjugat asam glukuronat, indometasin, klorpropramid, dan furosemid.
2). Bentuk terionisasi oat yang bersifat basa, seperti morfin, kuinin, meperidin, prokain, histamin, tiamin, dopamin dan turunan amonium kuartener.
            Proses pengangkutan aktif obat di tubulus dapat memberi penjelasan mengapa antibiotika turunan penisilin cepat diekskresikan dari tubuh.
            Kombinasi probenesid dengan penisilin akan meningkatkan masa kerja penisilin karena probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif sehingga ekskresi penisilin menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan menimbulkan aktivitas lebih lanjut.


Faktor-faktor yang mempengaruhi ekresi obat melalui ginjal :
1.  Hemodinamika
Ginjal perubahan kecepatan aliran darah ginjal umumnya akan mempengaruhi proses-proses filtrasi glomeruler, sekresi maupun reabsorpsi tubuler, meskipun perubahan di bawah 10 -20% mungkin tidak akan memperlihatkan akibat yang nyata pengurangan konsumsi natrium mungkin dapat menurunkan aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruler, sedang pemberian infus larutan salin dan diuretik osmotik dapat  memperbesar aliran darah ginjal dan ekskresi air tentu saja hal ini akan berpengaruh pada proses reabsorpsi obat. Beberapa obat diketahui dapat menurunkan kecepatan aliran darah ginjal, misalnya propranolol. Dalam gambar 1 terlihat bahwa pemberian propranolol 1 jam sebelumnya menyebabkan turunnya nilai klirens kreatinin dari 70,9 (� SEM 5.3) ml/menit menjadi 58,6 (� SEM 3.4) ml/menit. Untuk obat-obat yang ekskresinya tergantung pada kecepatan aliran darah ginjal, seperti misalnya salisilat dosis tinggi, penurunan kecepatan aliran darah ginjal menyebabkan turunnya nilai klirens ginjal obat tersebut.
2.  Usia
Kemampuan ekskresi ginjal pada umumnya lebih rendah pada bayi dan anak-anak dan pada usia lanjut bila dibandingkan dengan orang dewasa normal. Ini disebabkan karena lebih rendahnya kemampuan filtrasi glomeruler pada anak-anak dan usia lanjut, ditambah dengan belum sempurnanya sistem sekresi pada bayi baru lahir, meskipun hal ini diimbangi dengan ikatan protein yang lebih rendah dan juga rendahnya kemampuan reabsorpsi.
3.  pH urin

Untuk obat-obat yang bersifat elektrolit lemah, klirens ginjal sangat dipengaruhi oleh pH urin. Untuk asam lemah misalnya, lingkungan urin yang asam akan mengakibatkan berkurangnya jumlah obat yang diekskresi, karena reabsorpsi tubuli meningkat. Sebaliknya, suatu basa lemah akan mengalami kenaikan ekskresi dalam lingkungan urin yang sama.

  • Ekskresi Obat melalui Empedu

Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat yang telah dimetabolisis menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati, melewati empedu, menuju ke usus dengan mekanisme pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sulfat atau glisin. Di usus bentuk konjugat tersebut secara langsung diekskresikan melalui tinja atau mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat non polar sehingga diserap kembali ke plasma darah. Dari plasma senyawa akan kembali ke hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus, yang dinamakan siklus enterohepatik. Siklus ini menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang. Zat warna empedu adalah sisa hasil perombakan sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan disimpan pada kantong empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen yang berguna memberi warna pada tinja dan urin.

Ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein (pencahar). Setelah tiba kembali dalam usus dengan empedu, obat diresorpsi lagi. Siklus enterohepatis ini memperpanjang eksistensi obat dan lama kerjanya, tetapi akhirnya dengan induksi enzim diubah menjadi metabolit yang mudah diekskresi ginjal. Adakalanya obat di dalam usus diionisasi hingga tidak diresorpsi kembali dan dikeluarkan dengan tinja. Contoh lain adalah zat-zat asam (asam empedu, asam organik iod, yang digunakan sebagai obat diagnostic saluran empedu) dan antibiotika penisilin, eritromisin serta rifampisin, yang melarut baik dalam empedu dan digunakan pada infeksi saluran empedu. Pada umumnya tubuh condong mengeliminasi melalui empedu obat dengan berat molekul diatas 600 dalton.

Contoh obat yang mengalami proses siklus enterohepatik antara lain adalah hormon estrogen, indometasin, digitoksin dan fenolftalien, sedang obat yang langsung diekkresikan melalui empedu melalui mekanisme pengangkutan aktif antara lain adalah penisilin, rifampisin, streptomisin, tetrasiklin, hormon steroid dan glikosida jantung.

  • Ekskresi Obat melalui kulit

Obat dapat dieliminasikan  dari berbagai rute salah satu diantaranya adalah kulit. Organ utama proses ekskresi obat tentunya terjadi di ginjal, tetapi ekskresi obat juga terjadi di paru-paru, di kulit melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan ekskresi minyak pada rambut. Ekskresi obat pada kulit melalui keringat dan minyak jumlahnya sangat kecil, sehingga tidak berarti besar dalam pengakhiran efek obat, ekskresi obat melalui ginjal berperan sangat besar pada pengakhiran efek obat dalam tubuh.
Sangat sedikit sekali senyawa obat yang di ekskresikan ke luar tubuh melalui kulit bersama keringat misalnya paraldehida dan sebagian bromida, kebanyakan dari obat bersifat tidak larut dalam air memasuki jalur metabolisme dalam hati sehingga struktur obat menjadi polar dan mudah diekskresi. Ekskresi melalui kelenjar minyak dirambut digunakan kedokteran forensik untuk mendeteksi kematian akibat keracunan dengan adanya logam toksik seperti arsen pada rambut.


HUBUNGAN KELARUTAN DENGAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT

  • Aktivitas Biologis Senyawa Seri Homolog

Suatu seri homolog senyawa sukar terdisosiasi, yang perbedaan strukturnya hanya menyangkut perbedaan jumlah dan panjang rantai atom C, ternyata intensitas efek biologisnya tergantung pada jumlah atom C.
Contoh senyawa seri homolog :
1.      n-Alkohol, alkilresorsinol, alkilfenol dan alkilkresol (antibakteri).
2.      Ester asam para-aminobenzoat (anestesi setempat).
3.      Alkil 4,4’-stilbenediol (hormon estrogen).

Makin panjang rantai samping atom C, makin bertambah bagian molekul yang bersifat non polar dan terjadi perubahan sifat fisik, seperti kenaikan sifat didih, berkurangnya kelarutan dalam air, serta meningkatnya koefisien partisi lemak/air, tegangan permukaan dan kekentalan. Perubahan sifat fisik ini diikuti dengan peningkatan aktivitas biologis sampai tercatat aktivitas maksimum. Bila panjang rantai atom C terus ditingkatkan akan terjadi penurunan aktivitas secara drastis. Hal ini disebabkan dengan makin bertambahnya jumlah atom C, makin berkurang kelarutan senyawa dalam air, yang berarti kelarutan dalam cairan luar sel juga berkurang, sedang kelarutan senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses pengangkutan obat ke sisi kerja (site of action) atau reseptor. Oleh karena itu kelarutan dan koefisien partisi lemak/air merupakan sifat fisik penting dari senyawa seri homolog untuk dapat menghasilkan aktivitas biologis.

Contoh seri homolog :
1.      Seri homolog n-alkohol
Seri homolog n-alifatik alkohol primer, pada jumlah atom C1 sampai C7 menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus typhosus yang makin meningkat dan mencapai maksimum pada jumlah atom C = 8. pada jumlah atom C lebih besar 8 aktivitasnya menurun dengan drastis. Terhadap Staphylococcus aureus aktivitasnya mencapai maksimum pada jumlah atom C = 5.
Rantai alkohol yang bercabang, seperti alkohol sekunder dan tersier, mempunyai kelarutan dalam air lebih besar, nilai koefisien partisi lemak/air lebih rendah dibanding alkohol primer sehingga aktivitas antibakterinya lebih kecil.
Contoh : aktivitas n-heksanol 2 kali lebih besar dibanding heksanol sekunder dan 5 kali lebih besar dibanding heksanol tersier. Adanya ikatan rangkap dapat meningkatkan kelarutan dalam air dan menurunkan aktivitas antibakteri.
Alkohol dengan berat molekul besar, seperti : setilalkohol, praktis tidak larut dalam air sehingga tidak berkhasiat sebagai antibakteri.

2.      Seri homolog 4-n-alkilresorsinol
Aktivitas antibakteri terhadap Bacillus typhosus mencapai maksimum pada jumlah atom C = 6, dan terhadap Staphylococcus aureus aktivitas maksimum dicapai pada jumlah atom C = 9.

3.      Seri homolog ester asam vanilat
Tabel hubungan seri homolog ester asam vanilat dengan aktivitas anti bakterinya terhadap Staphylococcus aureus.
Ester asam vanilat
Koefisien fenol terhadap Staphylococcus aureus
Metil
Etil
n-propil
Isopropil
1,7
7,3
33,4
11,2

4.      Seri homolog ester asam para-hidroksi benzoat
Tabel hubungan struktur seri homolog ester asam para-hidroksi benzoat dengan nilai koefisien partisi dan aktivitas anti bakteri terhadap Staphylococcus aureus
Ester PHB
Koefisien Partisi
Koefisien fenol terhadap Staphylococcus aureus
Metil
Etil
n-propil
Isopropil
1,2
3,4
13
7,3
2,6
7,1
15
13


  • Hubungan Koefisien Partisi dengan Efek Anestesi Sistemik

Koefisien partisi kali pertama dihubungkan dengan aktivitas biologis obat-obat penekan sistem saraf pusat, yaitu: efek hipnotik dan anestesi oleh Overton dan Meyer (1899).
Mereka memberikan 3 postulat yang berhubungan dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak, sebagai berikut:
a.       Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut, dalam lemak seperti eter, hidrokarbon, dan hidrokarbon terhalogenasidapat memberikan efek narkosis pada jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya untuk terdistribusi ke dalam jaringan sel.
b.      Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yng banyak mengandung lemak, seperti sel saraf.
c.       Efisiensi anestesi tergantung pada koefisien partisi lemak/air atau distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa air jaringan.
Dari postulat diatas dismpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas anestesi dengan koefisien partisi lemak/air.
Wulf dan Featherstone (1957), mengemukakan teori anestesi sistemik yang dikenal sebagai teori ukuran molekul.
Beberapa bahan anestetika yang tidak reaktif, dapat menimbulkan efek anestesi sistemik karena ada hubungan mendasar antara sifat molekul dengan efek penekan sistem saraf pusat. Mereka menganggap bahwa tetapan molekul suatu senyawa dengan ada tidaknya potensi anestesi. Tetapan volume molekul dapat dicari melalui persamaan vander walls sebagai berikut:
(p + a/V2) (V – b) = Rt
a = tetapan kepolarisasian gas ideal
b = tetapan volume molekul
Pauling (1961), mengemukakan suatu teori anestesi yang penekanannya tidak pada fasa lemak sistem saraf pusat tetapi pada fasa air, yang dikenal dengan teori klatrat atau teori air.
Obat anastetika yang berupa gas atau larutan mudah menguap dan bersifat inert, seperti xenon dan kloroform, mempunyai potensiasi samadan hanya berbeda pada kemampuannya untuk mencapai reseptor. Pada percobaan in vivo, xenono dan kloroform dalam lingkungan air dapat membentuk mikrokristal hidrat (klatrat) yang stabil. Pauling menganggap bahwa pada in vivo, xenon dan kloroform akan menduduki ruang-ruang yang berisi molekul air, kemudian bersama-sama dengan rantai protein dan zat terlarut lain mengubah struktur media air yang mengelilinginya sehingga lebih terorganisasi dan terstabilkan oleh ikatan van der Waals, membentuk mikrokristal hidrat. Mikrokristal hidrat yang stabil ini dapat menyebabkan perubahan daya hantar rangsangan elektrik yang diperlukan untuk memelihara kesadaran mental sehngga timbul efek anestesi.

  • Prinsip Ferguson

Pada prinsip Ferguson, banyak senyawa seri homolog aktivitasnya akan meningkat sesuai dengan kenaikan jumlah atom C.
Fuhner ( 1904), mendapatkan bahwa untuk mencapai aktifitas sama, anggota seri homolog yang lebih tinggi memerlukan kadar yang lebih rendah sesaui dengan persamaan deret ukur sebagai berikut:
1/31, 1/32, 1/33, 1/34,....................... 1/3n
Contoh: seri homolog obat penekan sistem saraf pusat, seperti turunan alkohol, keton, amin, ester, uretan, dan hidrokarbon.
Perubahan sefat fisik tertentu dari suatu seri homolog, seperti tekanan uap, kelarutan dalam air, tegangan permukaan dan distribusi dalam pelarut tidak tercampur, kadang-kadang juga sesuai dengan persamaan deret ukur.
Sifat-sifat fisik secara umum melibatkan distribusi pada beberapa macam fasa.
         Contoh:
a.       Kelarutan, melibatkan distribusi antara suatu padatan atau cairan dan larutan jenuhnya.
b.      Tegangan permukaan, melibatkan distribusi antar larutan dan permukaan.
c.       Tekanan uap, melibatkan distribusi antara cairan dan uap.
Menurut Ferguson, kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan distribusi pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal, yang kadar senyawanya dapat diukur, dan biofasa.
Ferguson menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu menentukan kadar obat dalam biofasa (reseptor) karena pada keadaan keseimbangan kecenderungan obat untuk meninggalkan biofasa dan fase eksternal adalah sama, walaupun kadar obat dalam tiap fasa mungkin berbeda. Kecenderungan obat untuk meninggalkan fasa disebut aktivitas termodinamik.
Untuk menjelaskan kecenderungan obat dalam meninggalkan biofasa dan fasa eksternal, derajat kejenuhan masing-masing fasa merupakan pendekatan yang cukup beralasan.
         Contoh hubungan aktivitas biologis obat dengan aktifitas termodinamik:
a.       Seri homolog n-alkohol primer, kadar antibakteri terhadap Bacillus typhosus bervariasi antara 0,0034-10,8 mol/liter, sedang aktifitas termodinamiknya berkisar antara 0,33-0,88.
b.      Obat penekan sistem saraf pusat yang berupa gas atau uap, seperti nitrogen oksida, etil klorida, kloroform, asetilen, dietil formaldehid, dan eter, kadar isonarkotik bervariasi antara 0,5-100%, sedang aktifitas termodinamiknya berkisar antara 0,01-0,07.

Model Kerja Obat
Berdasarkan model kerja farmakologisnya, secara umum obat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

  1. Senyawa Berstruktur Tidak Khas
Senyawa berstruktur tidak khas adalah senyawa dengan struktur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan reseptor khas dan aktivitas biologisnya secara langsung dipengaruhi oleh struktur kimia tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika, seperti derajat ionisasi kelarutan, aktivitas termodinamik, tegangan permukaan dan redoks potensial. Terlihat bahwa efek biologis terjadi karena terkumpulnya obat pada daerah penting dari sel sehingga menyebabkan ketidakteraturan rantai proses metabolisme.
Senyawa berstruktur tidak khas menunjukkan aktivitas fisik dengan karakteritik sebagai berikut :
a.       Efek biologis berhubungan langsung dengan aktivitas termodinamik dan untuk menimbulkan efek memerlukan dosis yang relative besar.
b.      Walaupun perbedaan struktur kimia besar, asal mempunyai aktivitas termodinamik sama akan memberikan efek yang sama pula.
c.       Ada kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
d.      Bila terjadi kesetimbangan, aktivitas termodinamik masing-masing fasa harus sama.
e.       Pengukuran aktivitas termodinamik pada fasa eksternal juga mecerminkan aktivitas termodinamik biofasa.
f.        Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa gas atau uap dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut :
g.       Senyawa dengan derajat kejenuhan sama mempunyai aktivitas termodinamik sama sehingga derajat efek biologis sama pula. Oleh karena itu larutan jenuh dari senyawa dengan struktur yang berbeda dapat memberikan efek biologis yang sama.
Contoh senyawa yang berstruktur tidak khas :
1. Obat anastesi sistemik yang berupa gas atau uap, seperti etil klorida, asetilen, nitrogen oksida, eter dan kloroform.
Nama gas/uap
P uap (Ps) mm.
Kadar anastesi (% vol)
P parsial (Pt) mm
(a)
(Pt/Ps)
Nitrogen oksida
Etilen
Asetilen
Etil klorida
59,3
49,5
51,7
1,78
100
80
65
5
760
610
495
38
0,01
0,01
0,01
0,02
    Hubungan Kadar Isoanastesi Beberapa Obat Anastesi, yang Berupa Uap atau Gas, dengan Aktivitas Termodinamik, pada Manusia (pada suhu 37oC)
2. Insektisida yang mudah menguap dan bakterisida tertentu, seperti timol, fenol, kresol, n-alkohol dan resorsinol.
Nama Obat
Kadar Bakterisid (St), Molar
Kelarutan (So), Molar,25oC
(a)
(St/So)
Timol
Oktanol
O-kresol
Fenol
0,0022
0,0034
0,039
0,097
0,0057
0,0040
0,23
0,90
0,38
0,88
0,17
0,11
    Hubungan Kadar Bakterisid Beberapa insektisida yang mudah menguap terhadap Salmonella typhosa dengan Aktivitas Termodinamik

2.   Senyawa Berstruktur Khas
Senyawa berstruktur khas adalah senyawa yang memberikan efeknya dengan mengikat reseptor atau aseptor yang khas.
Mekanisme kerjanya dapat melewati salah satu cara berikut yaitu:
a)      Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara pengaktifan, penghambatan atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
b)      Bekerja sebagai antagonis, secara antagonis kimia, fungsional, farmakologis, atau anatgonis metabolik.
c)      Menekan fungsi gen, yaitu dengan menghambat biosintesis asam nukleat atau sintesis protein.
d)      Bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran sel dan mempengaruhi sistem pengangkutan membran sel.
Aktivitas biologis senyawa berstruktur khas tidak tergantung pada struktur kimia yang khas tidak bergantung pada aktivitas termodinamik (nilai a lebih kecil dari 0,01) tetapi lebih tergantung pada struktur kimia yang khas. Kereaktifan kimia, bentuk, ukuran dan pengaturan stereo kimia molekul, distribusi gugus fungsional, efek induksi dan resonansi, distribusi elektronik dan interaksi dengan reseptor mempunyai peran yang menentukan untuk terjadinya aktifitas biologis
Senyawa berstruktur khas mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a)      Efektif pada kadar yang rendah .
b)      Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
c)      Melibatkan ikatan-ikata kimia yang lebih kuat dibanding pada ikatan senyawa yang berstruktur tidak khas.
d)      Pada keadaan kesetimbangan aktivitas biologisnya maksimal.
e)      Sifat fisik dan kimia sama-sama berperan dalam menentukan efek biologis.
f)        Secara umum mempunyai struktur dasar karakteristik yang bertanggung jawab terhadap efek biologis senyawa analog.
g)      Sedikit perubahan struktur dapat mempengaruhi secara drastis aktivitas biologis obat.
Contoh obat yang berstruktur khas: obat antikanker, antimalaria, antibiotika, obat adrenergik, antihistamin, dan diuretik.



Sumber : Makalah Kimia Medisinal Program Studi S-1 Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru 2008

No comments:

Post a Comment