Tuesday, March 29, 2016

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES EKSKRESI DAN HUBUNGAN KELARUTAN DENGAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES EKSKRESI

  • Pengertian Ekskresi

         Eksresi adalah proses pengeluaran zat-zat yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Zat tersebut merupakan zat kimia obat yang telah mengalami proses metabolisme di dalam hati dan organ lain ditubuh. Ekskresi baik obat yang tak berubah maupun metabolit merupakan tempat-hilang yang irreversibel. Akan tetapi perubahan metabolik mengakibatkan metabolit mempunyai aktivitas dipertinggi, menurun atau sama sekali tak berubah.
         Salah satu jalur pokok eksresi adalah melalui ginjal dengan jalan adanya atau terbentuknya senyawa yang larut dalam air. Sesudah mengalami filtrasi glomerulus, resorbsi tubular kedalam plasma betul-betul lengkap untuk zat yang koefisien partisinya tinggi (lipid/air). Karena semua obat aktif (sebetulnya kemampuan mereka mengadakan penetrasi dalam membran selular lipid) itu larut dalam lipid, konversi metabolik umumnya dihati, menjadi bentuk yang lebih polar menjadi lebih penting untuk diekskresikan.
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau kedalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ekskresi dari obat yang dikeluarkan dengan jalan filtrasi glomeruli sangat diperlambat, karena hanya obat bebas mengalami filtrasi. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, misalnya benzilpenisilin (PP ca 50%) hampir diekresi seluruhnya dengan cepat. Ekskresi adalah parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh gangguan ginjal. Jika filtrasi glomeruler terganggu oleh penyakit ginjal , maka klirens obat yang terutama tereliminasi melalui mekanisme ini akan menurun dan waktu paruh obat dalam plasma menjadi lebih panjang.
Ekskresi merupakan pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni. Kebanyakan obat dikeluarkan melalui air seni dan lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh, misalnya penisilin, tetrasiklin, digoksin, dan salisilat. Zat-zat dalam keadaan ion yang mudah larut di air seni diekskresi dengan mudah. Zat-zat lipofil dan zat-zat tak terionisasi lebih lambat ekskresinya, untuk meningkatkan sifat hidrofilnya maka pada biotransformasi dimasukkan gugus -OH dan atau –COOH kedalam molekulnya.
Selain itu eksresi dapat pula dilakukan dengan cara lain yaitu melalui kulit, paru-paru, empedu, usus. Eksresi melalui kulit dikeluarkan bersama keringat, misalnya paraldehid dan bromida (sebagian). Ekskresi melalui paru-paru dilakukan melalui pernapasan yang biasanya hanya pada zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehid, dan anestetika (kloroform, halotan, siklopropan). Untuk ekskresi melalui empedu terjadi pada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein (pencahar). Setelah tiba kembali dalam usus dengan empedu obat diresorpsi lagi. Sedangkan untuk ekskresi pada usus terjadi pada zat-zat yang tidak atau tak lengkap diresorpsi usus dikeluarkan dengan tinja, misanya sulfasuksidin, neomisin, dan sediaan-sediaan besi.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.

  • Macam Ekskresi

         Sebagian besar obat diekskresikan keluar tubuh melalui paru, ginjal, empedu atau hati, sebagian kecil dengan kadar yang rendah diekskresikan melalui air liur dan air susu.
1.   Eksresi obat melalui Paru-paru
Obat yang diekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang digunakan secara inhalasi, seperti siklopropan, etilen, nitrogen oksida, eter, kloroform, dan enfluran. Sifat fsik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah koefisien partisi darah atau udara. Obat yang mempunyai koefisien partisi darah atau udara kecil, seperti siklopropan dan nitrogen oksida, diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi darah atau udara besar, seperti eter dan halotan, diekskresikan lebih lambat.

  • Ekskresi obat melalui ginjal

Salah satu jalan terbesar untuk ekskresi obat adalah melalui ginjal. Ekskresi obat melalui ginjal melibatkan 3 proses, yaitu:
a.   Penyaringan Glomerulus
            Ginjal menerima ± 20-25 % cairan tubuh dari curah jantung atau 1,2-1,5 liter darah per menit dan ± 10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus mempunyai pori karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah ± 40 วบ, erat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat yang mudah larut dalam cairan plasma tau obat yang bersifat hidrofil.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antar sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organic (penisilin, probenasid, salisilat, konyugat, glukuronid, dan asam urat) disekresi aktif melalui system transport untuk asam organic, dan basa organic (neostigmin, kolin, histamine) disekresi aktif melalui system transport untuk basa organic. Kedua system transport tersebut relative tidak selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam orgain dan antar basa organic dalam system transportnya masing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat, system transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya seksresi dan reabsorpsi. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi agak ringan. Misalnya untuk asam seperti barbital dapat diberikan natrium bikarbonat hingga air seni bereaksi basa. Untuk alkaloida pemberian ammonium klorida akan meningkatkan keasaman air seni, sehingga obat tersebut lebih banyak ionisasinya.
b.   Penyerapan Kembali secara Pasif pada Tubulus Ginjal.
            Sebagian besar obat diserap kembali dalam tubulus ginjal melalui proses difusi pasif. Penyerapan kembali molekul obat ke membran tubulus tergantung sifat kimia fisika, seperti ukuran molekul dan koefisien partisi lemak/air. Obat yang bersifat polar sukar larut dalam lemak dan tidak diserap kembali oleh membran tubulus. Penyerapan kembali pada tubulus ginjal sangat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat lektrolit lemah pada urin normal, pH = 4,8-7,5, sebagian besar terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi dan mudah larut dalam lemak sehingga mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak, sehingga reabsorpsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang ekskresinya dapat dipercepat dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya salisilat, fenobarbital.
Obat yang bersifat asam lemah, seperti asam salisilat, fenobarbital, nitrofurantoin, asam nalidiksat, asam benzoat dan sulfonamida, ekskresinya akan meningkat bila pH urin dibuat basa dan menurun bila pH urin dibuat asam. Contoh: waktu paro biologis sulfaetidol yang bersifat asam lemah pada pH urin = 5 adalah 11,5 jam , sedang pada pH urin = 8, waktu paronya menurun menjadi 4,2 jam.
            Asam kuat, dengan pKa lebih kecil dari 2,5 dan basa kuat, dengan pKa lebih besar dari 12, terionisasi sempurna pada pH urin sehingga sekreksinya tidak terpengaruh oleh perubahan pH urin.
c.   Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal
            Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui membran tubulus ginjal dengan mekanisme pengangkutan aktif. Contoh:
1). Bentuk terionisasi obat yang bersifat asam, seperti asam salisilat, penisilin, probenesid, diuretika turunan tiazida, asam aminophirupat, konjugat sulfat, konjugat asam glukuronat, indometasin, klorpropramid, dan furosemid.
2). Bentuk terionisasi oat yang bersifat basa, seperti morfin, kuinin, meperidin, prokain, histamin, tiamin, dopamin dan turunan amonium kuartener.
            Proses pengangkutan aktif obat di tubulus dapat memberi penjelasan mengapa antibiotika turunan penisilin cepat diekskresikan dari tubuh.
            Kombinasi probenesid dengan penisilin akan meningkatkan masa kerja penisilin karena probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif sehingga ekskresi penisilin menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan menimbulkan aktivitas lebih lanjut.

Mekanisme Nyeri

  • MEKANISME NYERI

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.





  • NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

  • PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

  • Proses Transduksi


Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

  • Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri1.

  • Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

  • Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

  • MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK

Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.

Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri
(nosiseptif).

Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral.


Sumber : Jurnal Universitas Sumatera Utara

Tuesday, March 22, 2016

Pendahuluan Kimia Medisinal

Kimia Medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu kima dan biologi, digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat pada tingkat molekul. Kimia medisinal melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas biologis dan kereaktifan kimia senyawa obat.

  • Batasan Kimia medisinal menurut Burger(1970):

Mencoba menetapkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologi obat, serta menghubungkan perilaku biodinamik melalui sifat sifat fisika dan kereaktifan kimia senyawa obat. Kimia Medisinal melibatkan isolasi, karakterisasi, dan sintesis senyawa senyawa yang digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit serta memelihara kesehatan.
  • Batasan Kimia Medisinal menurut IUPAC(1974):

Ilmu pengetahuan yang mempelajari penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Kimia medisinal juga melibatkan studi, identifikasi dan sintesis produk metabolisme obat dan senyawa yang berhubungan.
  • Batasan Kimia Medisinal menurut Taylor dan Konnewell:

Studi kimiawi senyawa aytau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan dalam system kehidupan dan melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas biologis serta mekanisme cara kerja senyawa pada system biologis, untuk mendapat efek pengobatan yang maksimal dan efek samping yang kecil.
  • Ruang Lingkup Kimia Medisinal menurut Mayer(1980):

1.      Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirikdigunakan untuk pengobatan.
2.      Sintesis struktur anlog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai pengobatan potensial.
3.      Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organic, dengan atau tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4.      Menghubungkan struktur kimia obat.
5.      Mengembangkan Rancangan obat
6.      Mengembangkan hubungkan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat kimia fisika dengan bantuan statistic.






Sumber : Siswandono dan Bambang soekardjoe ‘’Kimia Medisinal ‘’